Happy reading 🐹
.
.
."Dikasih tau nggak percaya. Ya udah!"
"Hmm.. gimana kalo kita taruhan aja?"
"Apa lagi, hah?"
"Ayah malem ini pulang. Kalo aku boong, aku janji nggak bakal ngikutin kamu lagi, deh. Sumpah! Tapi kalo aku bener, hihi"
"22 kotak Pocky kaya waktu itu?"
"Gak, gak, gak.."
"Terus.. apa?"
"Kalo Ayah beneran pulang malem ini, kamu harus bisa bikin Ayah ketemu sama.. guru cantik yang suaranya bagus itu, hihi"
Si bungsu keluarga Na, terbangun dari mimpi buruknya. Lagi-lagi.. mimpi itu. Matanya berkeliling, menatap seluruh sudut kamar. Ia melihat abangnya masih terjaga, duduk di sofa, fokus pada layar laptopnya.
Terhitung sudah tiga hari keduanya menempati kamar Cendana. Jaemin pun terpaksa WFH (Work From Hospital). Pasca tragedi kecelakaan adiknya ini, membuat Jaemin berpikir ulang ratusan kali jika ingin meninggalkan Jisung sendirian. Walau di kamar itu semua serba lengkap, Tetap saja.. itu rumah sakit. Nggak senyaman di rumah sendiri.
Untuk kasus kecelakaan Jisung, Jaemin menyelesaikannya secara kekeluargaan. Bisa saja menuntut si supir truk sampai ke meja hijau, tapi prosesnya akan sangat panjang. Bisa-bisa, rugi waktu, tenaga juga biaya. Si penggila robusta ini, memilih fokus pada kesehatan adiknya.
Melihat Jisung kesulitan meraih gelas di atas nakas, Jaemin berdiri, berjalan mendekat. "Tebak.. siapa yang tadi dateng ke sini?" tanyanya sambil membantu si bungsu menenggak air bening.
Glek glek
Jisung mengernyitkan dahi. Pikirannya menebak-nebak, siapa yang kakaknya maksud. "Paling temen kelasan aku" jawabnya.
"Bener. Tuh!" Jaemin mengendikkan dagunya ke tempat di mana ia duduk tadi. Goodie bag biru muda dengan motif polka, bersandar cantik di sofa kamar Cendana. "Tadi, dia ke sini sebentar. Trus, nitip itu buat kamu. Katanya biar kamu gak banyak ketinggalan pelajaran"
Seketika ekspresi Jisung berubah kecewa. "Kenapa gak bangunin aku sih, Bang?"
"Lah, kamu kan kalo tidur kayak orang meninggoy, Dek. Dibangunin nya susah beneeeerrrr," Jaemin menaruh kembali gelas di atas nakas. Sudut bibirnya muncul ketika terbayang wajah si manis lesung pipit, saat membesuk adiknya tadi. Matanya sembab berair, hidungnya memerah. Ia tahu gadis itu khawatir. "Mau dibaca sekarang nggak? Sapa tau.. abis baca itu kaki kamu sembuh, langsung bisa lari sambil koprol" Goda Jaemin.
"Dih, apaan sih, Bang!" Jisung memalingkan wajah. Pipinya berubah kemerahan sekarang. Jujur, kedatangan Sunny adalah salah satu yang ia harapkan. Tapi, rasa sukanya pada si lesung pipit adalah salah. Ia harus menepis perasaan aneh itu agar tidak datang berlebihan.
Jemarinya mengusap-usap paha. Ngilu di titik cederanya seringkali muncul, namun sebisa mungkin Jisung tahan. Nggak mau bikin Jaemin tambah khawatir. "Nanti.. aku tetep masih bisa jalan kan, Bang?" tanya Jisung menatap lesu kakaknya.
"Dodol! Ya iyalah. Kamu itu cuma dislokasi bukan amputasi. Lebay banget!"
"A-ayah.. gimana?"
"Ayah uda tau. Cuma.. blom bisa ke sini" Jaemin mengusak rambut depan sang adik. "Nggak papa ya. Di sini kan masih ada Abang, ada Chenle, ada.." Satu alisnya naik sambil tersenyum lebar. "Sunny"
"Abaaaaaaang!" teriakan Jisung yang menggema di kamar itu membuat Jaemin terkekeh. Sekeras apapun Jisung mengelak, mata tidak bisa berbohong. Yah, Jaemin juga pernah muda. Cukup tau ajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-gara Park Jisung || Na Jaemin
FanficSemuanya biasa saja. Sampai di mana, kehidupan Jisung mulai berubah ketika ia kalah taruhan dengan makhluk usil tak kasat mata. . . . "Kamu inget nggak, kapan terakhir kali call wa Abang?" "Hmm ... lupa. Udah lama banget" "Tadi pagi, nomor wa kamu n...