Happy reading🐹
.
.
.Kaki jenjangnya terus melangkah, membawanya sampai ke lantai dasar. Tapi aneh. Rasanya ada yang terlewat. Entah apa, Jaemin juga tidak tahu. Alisnya sampai mengkerut, ia mencoba mengingat-ingat sesuatu. Dengan sedikit berlari Jaemin berbalik arah, kembali ke ruang desain di lantai tiga.
"Jeein!" panggil Jaemin sambil mengatur napasnya yang tersengal-sengal. "Kamu sama Jeno nanti naik apa?" tanyanya.
"Ehm ... Mas Jeno bilang sih, bawa motor, Mas."
"Coba nanti kamu tanya Jeno, dia bawa helm cadangan nggak. Kalo enggak, kamu bisa pake helm saya yang itu" Telunjuknya mengarah ke benda bulat di kolong meja. "Ambil aja ya, saya nggak pake." lanjutnya sambil melambaikan tangan pada Jeein untuk yang kedua kali.
"I-iya, Mas." Jeein terpaku menatap kepergian seniornya. Matanya berbinar, sudut bibirnya muncul.
Sosok pemuda yang baru dikenalnya itu bak malaikat. Ia terus-menerus mensugesti diri, bahwa perlakuan Jaemin ini tidak lebih dari sekedar rekan kerja.
Yang jadi istrinya Mas Jaemin, pasti.. beruntung banget deh, batinnya.
.
.
.Duk duk duk
Suara pantulan bola warna merah bata, memenuhi ruangan. Sesekali ia memutar benda bulat itu di ujung telunjuk. Menjaga keseimbangannya agar tidak jatuh.
Ruangan yang luasnya 36m2 ini, menjadi tempat favorit si bungsu keluarga Zhong. Ia betah berlama-lama di kamar, yang hampir seluruh perabotnya berasal dari Swedia. Semua serba ada.
"Tadi nomor 12, lu jawab apa?" Chenle penasaran.
"A. Eh, apa D ya ... gue lupa." sahut Jisung yang kini terlentang di kasur empuk si tuan kamar. Jempolnya sibuk menggeser-geser layar ponsel.
"Sama. Gue juga A. Tapi pas gue cek lagi, ternyata yang bener tu B. Haha. Salah deh gue!"
Jisung memicingkan mata, melirik ke arah Chenle. "Kebiasaan lu! Nih ya, gue kasih tau." Ia menegakkan tubuhnya, duduk di pinggir kasur. "Yang lalu, biar lah berlalu! Yang udah lewat, pantang buat diingat-ingat! Enggak remed aja, udah cukup."
Si tuan kamar mendengus geli. Ia maklum kalau selama ini, nilai Jisung selalu ngepas. Bagus banget, enggak. Jelek juga, enggak. Sesuai dengan slogan yang diucapnya barusan.
Disela-sela obrolan mereka, terdengar bunyi klakson mobil dari arah luar. Itu si Abang. Jisung bergegas bangun, mengambil tasnya lalu berpamitan pada keluarga Zhong.
Ia berjalan cepat, menghampiri Jaemin yang parkir di depan pagar. Tangannya menarik gagang pintu mobil yang depan, sampai terbuka lebar. Mendudukkan dirinya di samping Abang supir yang tampan.
Jaemin melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Menyesuaikan dengan laju kendaraan lainnya. Lambat enggak, cepet banget juga enggak. Yang penting, selamat sampai tujuan. Matanya sesekali melirik kaca spion, memastikan jalurnya aman.
Dalam perjalanan, ia teringat apa yang dikatakan Renjun di pantry tadi. Soal Selin, soal adiknya dan masa depan dirinya. Renjun memang seperhatian itu walaupun lebih banyak ngeselinnya.
"Dek ... "
"Hmm" gumam Jisung. Jempolnya lagi-lagi sibuk menggeser layar ponsel.
"Kamu nggak pernah ngenalin cewek kamu ke Abang"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-gara Park Jisung || Na Jaemin
FanfictionSemuanya biasa saja. Sampai di mana, kehidupan Jisung mulai berubah ketika ia kalah taruhan dengan makhluk usil tak kasat mata. . . . "Kamu inget nggak, kapan terakhir kali call wa Abang?" "Hmm ... lupa. Udah lama banget" "Tadi pagi, nomor wa kamu n...