Pak Teguh yang biasanya mengantar jemput Afka menurunkannya tepat di jalan depan rumahnya. Sejujurnya, Alan ingin menawarkan agar sang kakak berkenan mampir lebih dulu. Namun, ia urung, sedikit khawatir jika mamanya tak suka hal itu. Selama ini, belum pernah sekalipun ia membawa temannya ke rumah. Bahkan, dari sekian banyak temannya, hanya Denta dan Afka yang mengetahui letak rumahnya.
Alan membuka gerbang yang tidak tergembok dari luar, menampakkan rumah minimalis dua lantai yang sudah beberapa tahun ia tinggali. Langkah kakinya terasa berat. Jujur, ia merasa kelelahan akhir-akhir ini. Ia tak membayangkan apa yang terjadi jika saja ia tak pulang bersama Afka. Bisa saja ia sudah terkapar entah di mana.
"Sore, Ma."
Suara lembutnya mengalun sampai di telinga sang mama. Denara mengalihkan netranya dari buku bacaannya, menatap sang putra sejenak, lantas kembali fokus dengan kegiatannya kembali. Alan tersenyum senang. Sudah sangat baik mamanya mau merespons ucapannya, meskipun bukan dengan suara.
Sosok manis itu membawa langkahnya menuju kamar. Sampai di kamar, ia letakkan alat-alat lukis yang baru saja ia beli, juga tas sekolahnya. Lantas, tangannya bergerak meraih handuk, mengambil baju ganti, dan memasuki kamar mandi.
Selang lima belas menit, Alan keluar dari kamar mandi dengan wajah yang terlihat jauh lebih segar. Tangannya dengan cekatan bergerak menyiapakan alat-alat untuk melukis. Tekadnya, ia ingin menyelesaikan lukisan itu hari ini juga. Sebab sejujurnya masih banyak tanggung jawab lain yang harus ia kerjakan.
Tak butuh waktu lama, kanvas sudah terpasang apik pada bingkai. Kali ini, ia gunakan cat akrilik. Sifat cat yang mudah mengering akan menjadi motivasi untuknya agar mewarnainya dengan cepat. Pertama-tama yang ia lakukan adalah membuat gambar sktetsa. Tangannya tanpa ragu menggoreskan ujung pensilnya tipis-tipis dengan cermat agar gambar sketsa yang dibuat sesuai keinginannya. Ia telah cukup memahami garis besar yang Pak Revan inginkan. Setelahnya, ia bubuhkan warna-warna yang diperlukan di tiap cekungan palet. Kurang dari satu jam, lukisan cantik itu telah terpajang dengan apik.
Dengan segera ia pindahkan bingkai itu, meletakkannya di tempat yang sekiranya aman sekaligus menunggunya benar-benar kering. Lantas, tangannya membereskan alat dan bahan yang sudah selesai digunakan.
"Den?" Pintu yang memang sengaja ia buka menampilkan Bi Mina yang memasang senyum. Ia tahu apa yang barusan dibuat oleh sosok manis itu. Bahkan, dapat ia saksikan lukisan indah itu lewat mata senjanya.
Sosok manis yang merupakan anak dari majikannya memang mempunyai bakat di bidang seni lukis. Dahulu, saat masih duduk di sekolah dasar sosok manis itu seringkali mengikuti perlombaan kesana-kemari hingga membawa banyak piala dan penghargaan. Mina adalah saksi bagaimana sosok kecil itu giat melatih keterampilan tangannya. Tiap kali mendapat uang pembinaan, anak itu pasti akan memberikan uang itu padanya agar dibelikan alat-alat lukis.
Namun sayang, selama SMP ini sosok manis itu tak pernah lagi mengikuti perlombaan lukis seperti dulu. Putra majikannya lebih memilih untuk mengikuti perlombaan akademis saja. Dan Mina pun tahu apa yang menjadi alasannya. Anak itu ingin seperti sang mama yang banyak membawa piala kejuaraan di bidang sains. Si manis hanya belum tahu saja jika sesungguhnya Denara memiliki daya tarik di bidang seni.
"Iya, Bi?" Si manis menghampirinya.
"Makan dulu ya? Siang tadi pasti belum makan kan?"
Alan mengiyakan dalam hati. Di kantin tadi ia hanya membeli minuman saja. Sebab, tadi perutnya memang benar-benar tidak lapar. Beruntung, Denta percaya, Afka pun juga tak memaksanya untuk memesan makanan.
"Sekalian makan malam aja, Bi. Alan belum lapar."
"Justru harus makan sebelum lapar. Atau mau bibi bawakan ke sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...