Part 41

416 46 10
                                    

♡(∩o∩)♡

Untuk kedua kalinya, di selang waktu yang tak jauh lama Denara dikejutkan dengan sosok di balik pintu yang ia buka. Anggra melempar senyum, menyapanya hangat. Denara menjawab seadanya, langsung bertanya secara terang-terangan mengenai maksud kedatangan saudara tuanya itu.

"Seharusnya ajak tamu masuk, suruh duduk, kasih minum. Heran nggak ada berubahnya." Anggra masuk lebih dulu sementara Denara masih bisa untuk tetap tenang. Dirinya sudah tahu benar bagaimana tingkah saudaranya, tanpa disuruh pun sudah pasti akan tahu sendiri.

"Alan belum pulang? Ujian kan? Kunci, Mbak mau jemput."

"Mbak bisa istirahat. Aku bisa jemput sendiri." Tegasnya.

"Sejak kapan kamu mau antar jemput putramu?"

Denara tak membalas, tahu apa maksud Anggra melempar pertanyaan seperti itu padanya. Daripada lanjut membalas, wanita itu lebih memilih berlalu. Sudah jam putranya akan pulang.

"Mbak mau jemput Alan. Maksud mbak, jemput untuk balik sama mbak."

Kalimat itu menghentikan langkahnya seketika. Denara menoleh, ada Anggra yang kini dengan ekspresi serius tengah menatapnya intens. Denara tersenyum sinis, membalas tatapan Anggra dengan tajam. Ia tahu jika saudaranya tidak sedang bercanda, sebab itu ia tak terima.

"Aku nggak akan pernah kasih izin. Atas dasar apa Mbak melakukannya?"

"Dena, kamu tau kan kalau Mbak nggak mungkin ke sini kalau cuma sekedar kangen sama Alan? Pasti ada sesuatau kan? Mbak yakin kamu udah sadar dan tau itu."

"Alan yang minta dan ibu juga yang suruh mbak buat jemput." Imbuhnya membuat hati sang adik gelisah seketika. Denara tahu persis jika ucapan Anggra bukan candaan belaka. Namun, yang langsung membenak di pikirannya adalah bagaimana mungkin putranya melakukan hal itu? Tak perlu berpikir panjang disambarnya kunci di meja. Anggra menghela napas panjang melihatnya, menyesali mengapa dirinya terlalu bergesa-gesa menyampaikan hal itu.

"Hati-hati, jangan lepas."

Nyatanya Denara sama sekali tak peduli. Ekspresinya masih sama datarnya, tetapi wajahnya kini tampak memerah basah air mata. Denara menyetir dengan kecepatan cukup tinggi. Terlebih jalan yang juga tak padat membuatnya lebih leluasa. Tak butuh waktu lama sampailah dirinya di tujuan. Ada sekitar sepuluh menit ia menunggu, sebelum sosok yang ia nantikan akhirnya muncul di hadapannya.

Denara tak mengucap sepatah katapun, begitu juga dengan sang putra yang hanya diam menunduk. Tanpa bertanya pun, Alan sudah punya dugaan kuat tentang apa yang terjadi. Detak jantungnya kian melaju cepat kala mobil itu justru berhenti di parkiran taman kota.

"Sayang, mama mau tanya."

Alan memberanikan diri menatap wajah sang mama. Bukan sebab takut, ia hanya tak bisa melihat kedua pipi sang mama basah karenanya. Ia selalu tak bisa, mungkin tak akan pernah bisa.

"Benar kamu yang minta dijemput?"

"Maaf, Ma."

Denara menggeleng pelan, menatap sang putra lembut. "Mama bukan mau kamu minta maaf. Mama perlu jawaban kamu."

"Aku yang minta bunda buat jemput."

Denara kembali menitikkan air mata. Ia sudah menebak jawaban itu sebelumnya. Hanya saja, setelah mendengar langsung jawaban sang putra, rasanya jauh lebih menyakiti lubuk hatinya.

"Tapi kenapa? Kasih mama alasan, mama butuh itu. Kamu belum maafin mama? Kamu nggak suka tinggal di sini, sama mama? Kamu udah nggak sayang sama mam-,"

"Ma." Anak itu menggeleng tegas.

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang