Awan kelabu merata melahirkan gerimis yang membasahi satu kota. Udara yang lembab dengan hawa cukup dingin membuat siapa pun akan enggan keluar dari bangunan jika tak ada keperluan.
"Kak, mau pulang kapan?"
"Udah selesai?" Tanya Denta yang hampir saja memasuki alam mimpinya. Ia sudah selesai eskul musik hampir setengah jam yang lalu. Namun, dibandingkan pulang, ia memilih menunggui adiknya yang semakin sibuk bimbingan akhir-akhir ini. Maklum, kurang dari dua minggu olimpiade akan diberlangsungkan.
Begitulah, waktu memang akan terus berjalan. Rangkaian peristiwa, emosi, dan keadaan pun selalu dinamis. Semua akan dirasakan dan dialami setiap orang. Mau tak mau, hidup memang harus terus dijalani sampai waktu yang tak diketahui.
"Kalau belum, aku nggak bakal balik ke sini, Kak." Kekehnya menanggapi Denta yang belum sepenuhnya berhasil melepaskan diri dari rasa kantuk.
"Mau mampir atau langsung pulang?" Tanya Denta seraya membereskan beberapa perintilan yang masih ada di atas mejanya.
"Langsung pulang. Ke rumah Kak Denta tapi."
"Mau nginep, mumpung weekend." Sambungnya kemudian.
"Disuruh ayah?"
Alan menggeleng tegas. "Cuma dikasih tau kalau ayah kakak pulang besok sore."
Denta tak kembali bersuara. Dirinya memilih jalan lebih dulu meninggalkan kelas, diikuti Alan yang berusaha mensejajarkan langkahnya.
Ya, hubungan Denta dengan ayahnya membaik. Tentu tak lepas dari campur tangan Alan yang setia berusaha 'membuka hati' kakaknya pun Afka yang tak pantang menyerah meyakinkan ayah sahabatnya itu. Ketika masing-masing orang hanya berfokus pada lukanya, maka haruslah ada yang mau mengalah memperhatikan luka yang lain lebih dulu. Entahlah, tapi itulah yang membuat hubungan keduanya membaik.
"Dek!"
Bukan. Barusan bukan suara Denta, melainkan suara Afka yang tanpa perlu menengok ke belakang sudah dikenali keduanya.
"Loh, belum pulang?"
"Siapa yang bilang udah pulang?" Afka yang masih terengah-engah selesai mengejar bersuara.
"Nggak ada. Tapi kakak bilang nggak ada acara apa-apa."
"Itu tadi, Dek. Sekarang beda."
"Terus mau kemana lagi?" Tanya kembali yang paling muda.
"Mau pulang. Wah, parah lo main tinggal!" Protes Afka ditujukan untuk Denta yang masih berjalan dengan muka lempeng nya.
"Gue lupa," balas Denta dengan entengnya. Padahal jika Afka tak berlarian sekuat tenaga, bisa dipastikan ia akan menghabiskan waktu cukup lama menunggu jemputan.
Afka diam. Kali ini ia lebih memilih mengatur napasnya daripada kembali bersuara. Sementara Alan yang melihatnya miris tak tega. Keringat yang terlihat di wajah kakaknya benar-benar tak membohongi.
"Mau minum dulu?" Tawar si bungsu menarik lengan kakaknya untuk berhenti. Afka menggeleng, giliran kembali menarik lengan adik kesayangannya.
"Loh,"
"Aku mau nginep, Kak." Potong Alan yang sudah mengetahui kelanjutan ucapan Afka. Sebab, mobil yang biasanya akan melewati rumahnya kini mengambil jalur lain.
"Oke, ikut." Afka tersenyum sempurna. Memang selalu seperti itu. Afka memang masih sering menginap di rumah Denta. Namun, ia akan jauh lebih bersemangat jika Alan turut ikut.
***
"Kak, ajarin belajar main gitar ya?"
"Sejak kapan kamu tertarik main alat musik?" Sahut Afka yang wajahnya enggan berpaling dari ponselnya. Jelas, ada game yang sedang membuatnya fokus hingga lebih memilih memandang layar daripada wajah manis adiknya. Sementara Denta sendiri jangan ditanya sedang apa. Remaja itu tengah merebahkan diri di sofa panjang kamarnya seraya membaca koleksi komik terbarunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...