Part 42

415 32 0
                                    

Bintang-bintang menapaki gelapnya angkasa. Kerlap-kerlipnya menarik netra untuk mengarah ke bumantara. Rembulan purnama nampak gagah dengan sinar hasil pantulan sang surya. Dinginnya malam merangkak merayap kulit, terasa semakin menusuk kala embusan pawana menyapu raga.

"Sudah tidur?" Itu suara Anggra yang sengaja muncul menunggui Denara keluar. Denara yang baru saja menutup pintu kamar putranya mengangguk pelan.

"Mbak mau bicara sebentar."

Sekali lagi, wanita itu kembali mengangguk. Kaki jenjangnya melangkah menjauh dari kamar sang putra. Anggra yang paham mengikuti langkah anggun adiknya. Sampai di ruang tengah, barulah Anggra kembali bersuara.

"Ibu minta sama Mbak buat bujuk kamu pulang."

Cepat-cepat wanita itu menggelengkan kepala, merasa kalimatnya tak tepat.

"Bukan pulang, Ibu cuma mau kamu sesekali jenguk rumah. Apa memang kamu nggak punya niat untuk itu?"

Anggra menatap intens lawan bicaranya. Namun, tidak dengan sang adik yang justru mengalihkan wajahnya, tak ingin perasaannya terbaca. Selalu seperti itu jika sosoknya belum siap dengan apa yang masuk ke telinganya.

Denara terdiam cukup lama, memikirkan kalimat apa yang akan ia lontarkan untuk menjawabnya. Batinnya bergemuruh, pikirannya berkecamuk. Dua kata yang membentuk kalimat tanyalah yang justru lolos dari bibirnya.

"Buat apa?" Denara datar mengatakannya. Suasana hatinya tak pernah bersahabat jika membahas hal demikian.

"Jangan kelewatan, Dena." Anggra menaikkan nada bicaranya, memberi penekanan pada nama adiknya. Emosinya tergugah mendengar jawaban sang adik yang tidak pernah ada bedanya. Anggra pikir, berbagai hal yang terjadi akhir-akhir ini mampu membuat wanita itu melunak. Namun, rupanya perkiraannya lagi-lagi melesat.

"Aku dari dulu memang udah kelewatan, Mbak. Ibu juga sering bilang kan?"

"Mbak minta maaf. Tolong, sesekali jenguk Ibu. Uangmu nggak akan bisa buat Ibu bahagia." Anggra memelas. Ia seringkali lupa jika sosok yang lebih muda darinya itu justru akan tersulut jika merasa tertuntut dan terhakimi.

"Jangan bahas hal-hal yang Mbak tau sendiri kalau aku nggak mau membahasnya." Tegasnya melangkah pergi. Kejadian akhir-akhir ini benar-benar menguras pikiran dan emosinya. Ia mengaku salah, sebab itu dirinya juga ingin diam untuk tenang tanpa dihadapkan dnegan berbagai masalah.

"Lalu, Mbak harus gimana? Mbak juga selalu ngerasa bersalah, padahal semua bukan mau, Mbak. Jangan kamu kira Mbak bahagia nggak ada beban."

Luapan perasaan Anggra menghentikan langkah Denara. Semau dan sekuat apapun menahannya, masih saja emosinya sering kali tak bisa dijaga. Ucapan bernada kemarahan bahkan kalimat sarkas yang tak pernah ia lontarkan pada siapapun akhirnya meluncur begitu saja.

Percayalah, sesungguhnya Anggra adalah sosok yang tak mudah meluapkan kemarahannya. Namun, itu tak berlaku jika ia di hadapkan dengan sang adik. Sudah sangat lama ia mencoba, sudah lama pula ia menahannya, pun untuk perubahan sama sekali tak ia jumpa. Keinginannya hanya bagaimana sosok itu bisa kembali. Anggra rindu masa-masa bagaimana sang adik dan dirinya begitu akurnya. Amat sangat dekat, menjadi dambaan hubungan kakak adik bagi setiap orang. Namun, ia paham semua telah sirna. Tidak akan mungkin, bukan, hanya ada kemungkinan kecil hal seperti itu akan kembali. Tapi, setidaknya Anggra hanya ingin menjalankan apa yang seharusnya ia lakukan.

"Ayo kembali. Biar semuanya lega. Mbak juga mau kamu bahagia, nggak ada lagi yang ganggu pikiran kamu. Banyak yang mau Ibu sampaikan. Kalau ditelfon saja kamu nggak jawab, gimana bisa Ibu komunikasi?"

"Mbak tau kalau akhir-akhir ini Ibu selalu usaha buat bisa bicara sama kamu." Tegas Anggra sebelum Denara berbicara.

"Besok bicara sama Ibu. Kalaupun nggak mau, dengerin aja apa yang mau Ibu obrolin." Imbuh Anggra yang kini justru melangkah lebih dulu, mengakhiri pembicaraan di bawah lampu temaram.

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang