Bagian Enam

1K 83 0
                                    

"Kak, boleh duduk sini?"

Afka yang sebelumnya tengah memejamkan kelopak mata dengan posisi kepala yang terletak miring di atas meja, kini menegadahkan kepalanya menatap sumber suara. Netranya melirik bangku depan yang biasanya ditempati sang adik dengan Candra si ketua kelas. Tas milik Candra yang ditinggal pemiliknya sudah ada di sana, sementara kursi sampingnya masih kosong.

"Depan masih kosong, tempati dulu."

"Oh, oke," jawabnya pelan, berusaha menormalkan suaranya. Lantas kedua telapak kakinya berjalan menapaki lantai berwarna putih menuju kursi yang biasanya ia pakai.

Alan menghela napas panjang. Biasanya tak seperti ini, tapi sebenarnya ia juga sudah menduga hal seperti ini akan terjadi. Biasanya Afka akan menyapanya lebih dulu, menanyakannya apakah sudah sarapan, lantas jika ia hanya diam kakaknya itu akan menariknya ke kantin. Afka yang biasanya tak pernah terlihat lesu seperti sekarang, sebaliknya kakaknya itu tak akan tanggung-tanggung menghabiskan energinya dengan polah aktifnya.

Alan tak habis pikir untuk membuka topik obrolan.  Ia memutar setengah tubuhnya, wajahnya sudah menghadap ke belakang.

"Kak?"

Afka yang sudah kembali meletakkan kepalanya di meja hanya berdehem. Alan dibuat semakin ragu melanjutkan ucapannya. Pesimis jika respons Afka tak sesuai dengan harapannya. Tapi, apa salahnya mencoba bukan?

"Temenin ke kantin yuk." Ajaknya berusaha menghidupkan binar di wajah.

"Belum makan?" Tanya Afka yang sudah duduk tegak. Tetap saja ekspresinya nampak jauh dari biasanya. Gaya bicaranya saja sudah terdeteksi berbeda sejak menjawab pertanyaan Alan yang pertama.

"Udah. Mau cari minum tapi," ucapnya dengan senyum dan binar yang semakin menyala sebab Afka masih mau memberi perhatian padanya.

"Minum punyaku." Afka sudah bergegas mengambil botol minumnya yang masih utuh. Lantas, menaruhnya di meja dan mendorong botol itu ke arah depan.

"Aku ke kantin aja."

Afka tak memberi tanggapan, bahkan meski hanya dengan tanggapan non verbal. Anak itu hanya menatap kepergian si manis hingga menghilang dari pintu.

Sementara itu, remaja awal berwajah manis itu melangkah tak tenang. Sejujurnya, mengajak yang lebih tua ke kantin hanya alibinya untuk membawa Afka meninggalkan kelas. Ada yang harus ia katakan, tapi bukan di ruang kelas yang sudah cukup ramai itu. Hatinya gelisah. Ia bingung, kenapa di saat hubungannya dengan sang mama yang semakin tidak membaik harus bersamaan dengan hubungannya dengan Afka yang juga sedang tak baik-baik saja?

"Jalan jangan ngelamun, kalau nubruk gimana?" Suara Afka terdengar bersamaan dengan sebuah tangan yang terasa menarik lengan kanannya. Alan baru tersadar jika jalannya sudah tak lurus dan hampir saja bagian sisi kiri tubuhnya menubruk tiang penyangga.

Alan sangka, Afka menyusulnya. Namun, ternyata remaja itu justru melanjutkan jalannya yang berbelok ke koridor lain. Bahkan, Alan belum sempat berkata-kata. Sepertinya, ia memang tidak boleh berharap lebih. Jujur ia sangat takut. Afka tipe orang yang jika sudah dibuat marah maka tak akan mau lagi berurusan dengan orang yang bersangkutan. Alan sudah pernah mendengar dan menyaksikannya sendiri. Lantas, apakah nasibnya juga akan sama? Bahkan, untuk membayangkannya saja ia tak bisa.

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang