Hari sudah menjelang petang. Dua mobil yang membawa siswa-siswi berprestasi itu memasuki area sekolah mereka. Olimpiade sudah berakhir sejak jam dua siang. Hanya saja mereka dan beberapa guru pendamping perlu menunggu hingga pengumaman tiba.
Sekolah dalam kondisi sepi dari aktivitas dan penghuni. Namun, masih tampak beberapa siswa yang sebenarnya juga sudah berlalu lalang terlihat akan pulang. Berita kemenangan beberapa siswa sudah tersiar. Hanya saja, hanya guru-guru pendamping yang baru bisa mengucapkan nya secara langsung untuk sekarang ini.
Kini, lima siswa yang menunggu jemputan melangkah bersama menuju gazebo yang tak jauh dari gerbang masuk. Tak berselang lama, salah seorang siswi pamit dan melangkah keluar dari gerbang sekolah. Hal tersebut berturut-turut diikuti dua siswa lainnya, menyisakan Alan dengan Raffa yang terlarut dalam obrolan ringan.
"Kak, aku udah ditunggu di luar," ucap yang muda setelah membuka pesan dari mamanya.
"Ya udah. Duluan aja, Lan."
Anak itu menggeleng tak setuju. Sebab, baru saja kakaknya berkata jika pesannya untuk ayahnya sedari tadi belum dibuka.
"Barengan aja ya?"
"Nggak usah. Paling bentar lagi otw. Tadi pagi udah bilang suruh jemput sebelum magrib, kok."
"Ya udah. Biar aku temenin."
"Nggak perlu, kasian yang nunggu. Lagian di sini masih ada yang jaga."
"Gini aja. Kakak bareng aku, nanti lewat jalan yang biasa ayah kakak jemput. Nanti kalau ketemu di tengah jalan, kakak bisa turun. Ya?"
"Sambil kakak suruh nggak usah jemput aja. Siapa tau pesannya dibaca. Kalau nggak dibaca pun di jalan masih ada kemungkinan ketemu, kan?" Sambungnya benar-benar tak ingin meninggalkan Raffa menunggu seorang diri.
"Bentar gue coba telfon lagi."
Alan mengangguk, masih menunggu bagaimana Raffa menghubungi ayahnya.
"Udah di jalan. Lo duluan aja ya?"
"Iya. Ayo pulang, udah ditunggu," sahut Afka yang sudah merangkul adiknya erat-erat. Kedatangannya saja tiba-tiba.
"Duluan ya, Kak." Pamit anak itu mewanti-wanti jika sang kakak berbuat hal-hal yang tak diinginkan.
Raffa mengangguk. Menatap miris sosok yang hanya berjalan pasrah, tak berniat melepaskan rangkulan erat Afka. Mungkin memang lelah. Raffa saja juga sudah merasa lelah sedari tadi. Belum lagi badannya sudah terasa lengket karena banyak berkeringat.
"Capek ya?"
Pertanyaan itu mendapat anggukan. Normalnya memang lelah. Alan yakin tidak hanya dirinya saja yang merasakannya.
"Gak papa. Habis ini istirahat. Tapi emang hebat banget, sih. Adeknya siapa dulu kan ya?" Afka terkekeh. Ada rasa bangga yang kini ia rasa. Si manis pun tak bisa menyembunyikan senyumnya. Rasanya hangat sekali mendengar ucapan seperti itu dari kakaknya.
"Kak Afka kenapa bisa sama mama?"
"Pulang sekolah langsung mampir. Denta juga masih di sana."
"Kenapa nggak ikut?"
"Kenapa banyak nanya?"
Oke. Alan diam. Afka saja yang boleh banyak bertanya.
"Ish, gemesnya!"
"Jangan peluk! Aku bau." Protes anak itu berusaha berjalan meskipun berat sebab Afka justru bergeleyot memeluknya.
"Iya. Bau bayik!"
"Kakak lebih bayik."
"Nggak denger," ucapnya santai, meninggalkan adiknya menuju mobil lebih dulu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...