Part 33

524 59 0
                                    

♡(∩o∩)♡

Denta masuk ke kamar sang adik membawa nampan berisi makanan, minum, serta obat penurun demam. Terbilang ia memang belum mendapat izin. Ia dapat memasuki kamar adiknya setelah bernegosiasi dengan Afka tentunya. Tadinya Denara yang ingin masuk, terlalu panik mendengar putranya demam. Namun, Afka menyarankan agar wanita itu tetap menunggu, ia sendiri yang berjanji akan menjaga adiknya. Kecuali jika keadaan memang darurat, tapi tentu semua tak berharap hal itu terjadi.

"Gak papa kan kakak yang masuk?" Tanyanya menyadari sang adik yang terus menatapnya mulai dari saat pertamakali ia membuka pintu. Anak itu mengangguk tak mempermasalahkan.

"Aku sendiri aja," lirih anak itu ketika tahu Denta akan menyuapinya. Bukannya apa, anak itu memang tak ingin membuat kakaknya semakin repot mengurusnya.  Keberadaan mereka di dekatnya saja sudah menjadi penenang tersendiri untuknya. Satu lagi, anak itu paling tak suka dimanja meskipun ia sadar jika beberapa orang justru sering memanjakannya.

"Oke. Dihabisin tapi."

Anak itu tak menggeleng, tak pula mengangguk. Tangannya sibuk menyendok, mulutnya kini sibuk mengunyah. Lagipula, Denta juga sudah tahu mengenai kebiasaan adiknya yang tak pernah menyisakan makanan.

"Afka titip pesen suruh minum obat. Katanya demam." Denta kembali bersuara. Tangannya menyerahkan segelas minum dan satu tablet pil putih. Sang adik mengangguk menerimanya.

"Makasih, Kak."

"Kalau sakit bilang, jangan ditahan. Ingat ucapan kamu ke kakak waktu itu? Tuhan ambil orang-orang yang kita sayang kerena sayangnya Tuhan ke mereka jauh lebih besar. Kakak minta kamu juga percaya itu."

Jeda.

"Susah, sedih, seneng, dan apapun perasaan itu, cuma giliran datengnya. Persis kayak mendung, hujan, pelangi, badai yang biasa ada. Di dunia ini nggak ada yang menetap. Kakak paham kamu tau ini dan kakak juga cuma ngingetin. Oke kalau sekarang kamu masih denial, tapi kakak harap ini nggak akan lama. Jangan salahin diri kamu padahal kamu sendiri nggak salah dan nggak tau apa-apa. Stop it!"

"Tapi nyatanya semua orang nyalahin aku."

"Dan mereka nyesel karena tau kalau mereka sendiri salah kan? Kakak nggak mau nantinya kamu juga nyesel. Kamu harus lebih sayang dan peduli sama diri kamu, Dek. Itu susah, tapi kamu nggak sendiri. Ada kakak. Kita bisa usaha bareng-bareng."

Anak itu tersenyum. "Mungkin aku cuma lagi capek."

"Istirahat. Kalau kamu mau sendiri buat istirahat it's okay. Tapi, jangan buat nyalahin diri. Jangan mikirin hal-hal yang buat kamu nangis. Tenangin diri. Kakak tau kamu bisa."

Keheningan itu berlangsung cukup la. Tak ada lagi yang berniat buka suara. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hingga suara yang termuda mengusir senyap yang ada.

"Boleh aku istirahat sekarang?"

"Pintunya nggak akan dikunci, Kak." Sambungnya kemudian.

"Panggil kakak kalau butuh sesuatu. Bisa?"

Anak itu mengangguk pasti. Tubuhnya kini berbaring di bed kenyamanannya. Tak butuh waktu lama, anak itu tertidur lelap.

***

"Mau ditemenin? Kalau iya, kakak nggak pulang."

Alan mengangkat pandangannya. Ada Afka yang kini tengah datang membawa nampan berisi makanan. Anak itu meringis merasa telah banyak merepotkan.

"Aku bisa sendiri," protesnya mau tak mau menerima sepiring makanan yang disodorkan Afka.

"Siang tadi kalau nggak diambilin apa bener jadi makan?" Tanya Afka setengah menghakimi.

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang