Part 45

423 39 0
                                    

Senja jingga di langit barat daya nampak indah merona. Sepoi-sepoi angin yang bertiup halus membuat sosok manis itu terbuai dalam renungannya. Di ayunan halaman rumah, Alan duduk terdiam dengan sebuah buku di pangkuan. Bunda sedang menjemput sang kakak di bandara, sementara mama belum juga pulang. Kalau ditanya mengapa dirinya tak ikut menjemput, maka jawabannya karena ia sendiri baru saja tiba di rumah.

Sejujurnya, hatinya semakin goyah untuk pergi. Sempat terpikir di benaknya untuk tetap tinggal. Sebab, nyatanya hubungannya dengan sang mama perlahan membaik. Namun, ia tak tahu bagaimana nantinya jika bunda sudah kembali atau mungkin bibi akan pulang ke kampung halaman di liburan semester nanti dan menyisakan dirinya di rumah dengan mama.

Sosok itu hanya khawatir kegelisahan akan menghantuinya. Kejadian-kejadian silam benar-benar tak bisa ia lupakan begitu saja. Semua akan semakin terasa jika dirinya hanya berdua bersama mama, itu yang ia bayangkan dan rasakan. Andai saja peristiwa tak tersangka itu tak benar-benar ada. Maka ceritanya jelas akan berbeda.

Semua kejadian yang tak pernah ia sangka membuat kepercayaannya tak lagi sama. Ia tahu semua bukan kesalahan sang mama. Namun, keterbukaan itu yang ia inginkan. Jika saja mama mengatakan semua dengan jujur, maka kekecewaannya mungkin tak sebesar ini.

Suara mobil di depan gerbang membuyarkan lamunannya. Tampak bibi yang tengah berjalan tergopoh-gopoh hendak membuka gerbang. Namun, segera sosok itu memberi kode pada bibi bahwa ia yang akan membukanya.

"Udah makan?" Tanya sang mama mencium pucuk kepala sang putra.

Pertanyaan itu diangguki dengan senyuman. "Mama?"

"Kalau tadi siang udah. Mama mandi dulu ya? Ayo masuk, langit udah gelap." Tangan Denara mengelus bahu sang putra. Lantas beranjak pergi ingin segera membersihkan diri. Kegiatannya sedari pagi begitu padat.

"Dua hari bareng kakak gimana rasanya? Pasti seneng." Denara menghampiri sang putra, dengan wajah yang lebih segar khas setelah mandi.

"Tapi aku ingkar bilang cuma semalam."

"Yang penting udah pamit. Tante Afra telfon mama. Rumahnya jadi adem tiap kamu datang." Sang mama tersenyum lebar membuat putranya ikut tersenyum.

"Mama nggak berantem sama bunda kan?"

"Loh, curigaan terus ya! Gimana? Udah telfon Kak Alfa?"

"Masih di jalan, Ma. Sebentar lagi."

Hening. Denara menyalakan televisi, mengusir keheningan yang ada. Sementara sosok manis itu juga kembali sibuk dengan pikirannya.

"Ma, boleh aku telfon Tante Risa?"

"Boleh. Mau telfon pake hp mama? Biar mama sambungin nanti."

Alan tersenyum. Binar di matanya tak bisa berbohong jika anak itu tengah bahagia. Namun, relitas itu buru-buru menamparnya, kegelisahan itu kembali tiba. Ada satu hal yang paling mengganjal di hatinya. Afka. Kakaknya itu satu-satunya orang yang belum ia beri tahu mengenai kepergiannya.

"Aku belum bilang Kak Afka."

Jeda.

"Kalau aku bakal ikut bunda pulang."

Denara mengangguk sekali. Kedua netranya menatap sang putra sendu. Kekhawatiran itu, Denara jelas dapat merasakannya. "Mau mama bantu bilang?" Tanyanya mencoba menawarkan. Namun, gelengan pelan yang wanita itu dapatkan.

"Kamu takut kakak marah?"

Sang putra kembali menggeleng. Sesungguhnya ketakutannya lebih daripada itu. Percakapan sebelum tidur itu terus terngiang di benaknya. Semakin mendekati hari, kekhawatiran itu semakin terasa.

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang