"Jangan maksain diri."
Denara yang sudah lebih dulu berada di ruang makan membuka suara melihat kehadiran sang putra.
"Ma, aku a-,"
"Kalau ada apa-apa, mama yang repot."
Sang putra yang tadinya akan bersuara dibuat bungkam. Sejujurnya, ia memang sudah merasa lemas. Rasa pusing yang ia rasakan semalam memang sudah hilang, tetapi suhu tubuhnya masih di atas normal. Niatnya ia hanya ingin mengikuti ulangan harian di jam awal nanti dan akan izin ke UKS sampai kondisinya membaik.
Absen sehari terlalu berharga untuknya. Pasti akan ada tambahan tugas, harus kejar materi, ataupun harus merelakan bimbingan olimpiade sepulangnya nanti. Sementara, masih banyak kegiatan lain yang harus ia ikuti.
"Makan dan istirahat di kamar. Tunggu dokternya."
Anak itu menatap sang mama yang sedang menyentong nasi. Kepalanya mengangguk, bibir kering pucatnya tak kuasa menahan senyum. Entah kenapa hatinya terasa menghangat meskipun ia tahu jika maksud sang mama tak lain adalah agar tak membuat repot.
"Makasih, Ma."
"Buat apa? Bundamu besok datang kan? Jadi, usahakan sehat sebelum dia ke sini. Mama gak mau dia nuduh mama yang bukan-bukan."
Sosoknya diam membeku. Jadi, semua ini juga karena bunda? Perihal bunda akan datang, ia sama sekali tidak tahu. Terakhir kali bunda menghubunginya, perempuan yang sudah merawatnya sedari ia kecil itu hanya mengobrol seputar hal-hal sederhana saja.
"Kenapa mama sama bunda nggak akur? Apa memang karena Alan?"
Denara tak menggubris pertanyaan sang putra. Ia masih memakan makanannya dengan tenang. Seperti biasanya, seolah tak mendengar, seolah menganggap bahwa hanya ada dirinya di sana.
"Mama. Kasih tahu aku, salah aku yang mana? Biar bisa aku benerin. Apa mama aja benci karena aku lahir? Apa aku lahir aja udah salah?" ucapnya pelan.
Sungguh berat baginya harus kembali menyinggung hal seperti ini. Hatinya sendiri terasa nyeri mendengar mulutnya bersuara demikian. Sudah sangat lama dan ia sudah lelah untuk diam menyimpan semuanya sendirian. Merasa bahwa ia sama sekali tak keberatan dengan perlakuan yang Denara berikan. Merasa bahwa semua akan baik-baik saja. Optimis jika sang mama pasti akan berbalik padanya.
"Bicara apa kamu ini? Kamu pikir mama gak bertaruh nyawa ngelahirin kamu?! Jangan mancing mama buat bicara yang bukan-bukan. Cukup diam dan jadi anak baik-baik!"
Hati sensitif yang sudah terluka itu kembali meringis menahan perih. Air mata yang tadinya hanya menetes, kini berbondong-bondong mengaliri pipinya. Bagaimana ia bisa menjadi anak baik jika sang mama saja tidak memberitahu caranya? Alan ingin sekali menjadi anak yang baik, tapi ia tidak tahu di mata sang mama anak baik itu yang seperti apa.
"Kalau mama gak benci sama Alan, kenapa mama ninggalin aku waktu masih kecil? Apa kalau bunda sama nenek nggak nganterin Alan ke sini, mama juga nggak akan jemput Alan? Kenapa mama nggak bisa sayang sama Alan?"
"Kenapa kamu makin berani ngelawan mama? Kalau mama bilang diam, tolong diam. Jangan merasa jadi yang paling tersakiti di sini, karena bukan hanya kamu saja yang ngerasain sakit! Kalau kamu mau tahu, mama udah lebih dulu ngerasain sakit daripada kamu."
Denara berdiri dari kursi dengan kasarnya. Lantas pergi meninggalkan makanannya yang masih bersisa. Alan hanya bisa terisak menangis. Merasa bersalah karena membuat sang mama melewatkan sarapannya. Juga menangis karena perkataan sang mama yang cukup menohok sudut hatinya.
Anak itu justru semakin bingung. Jika sang mama memang terluka, ia ingin tahu apa yang membuat mamanya terluka. Ia ingin bisa mengobati luka yang menyakiti mamanya. Tapi, bagaimana ia bisa tahu jika mamanya sendiri tak ingin dirinya membahasnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...