Part 18

633 68 0
                                    

Denara cukup panik ketika dini hari Bi Mina mengetuk pintu kamarnya mengabarkan jika sang putra demam. Buru-buru wanita itu menuruni tangga hingga hampir saja terpeleset jika tak sigap berpegangan, membuat Bi Mina yang melihatnya mengelus dada.

Denara membuka pintu bercat putih itu. Tampak putranya tengah tidur meringkuk bergelung selimut. Lantas, langkahnya dengan pelan mendekat, mengecek suhu tubuh dengan menempelkan punggung tangannya ke dahi putra manisnya. Panas terasa menyengat permukaaan kulit punggung tangannya. Tak sampai di situ, Denara bergegas mengambil termometer dan obat antipiretik. Tanpa disuruh, Bi Mina keluar kamar guna menyiapkan kain dan air untuk mengompres.

"Bi, masih ada nasi?"

"Ada, Bu. Bibi siapkan, nanti bibi bawa sekalian ke kamar aden."

"Terima kasih," balas Denara lantas menuju kembali ke kamar putranya.

"Sayang, ayo bangun dulu."

Berkali-kali memanggil tak mendapat respons, membuat perempuan itu mau tak mau mendekap putranya untuk dibawa duduk bersandar. Akhirnya, mata yang semula terpejam itu membuka secara pelan.

"Sayang, kamu badan kamu panas. Minum obat sebentar, mau ya?"

Alan mengangguk, menyamankan posisi duduknya. Kepalanya memang terasa pusing sedari malam sebelum tidur. Namun, merasa hanya pusing ringan membuatnya memilih abai. Tak mengira jika tubuhnya akan terasa selemah dan menggigil seperti sekarang.

Hingga tak berselang lama, Bi Mina datang membawa sebuah piring dengan gelas yang terisi. Denara menerimanya dengan segera.

"Makan dulu ya? Dikit aja buat minum obatnya." Pintanya yang diangguki sang putra.

"Dingin, Ma."

"Sini mama peluk." Denara mendekat, mendekap putranya kembali. Bi Mina yang masih di sana tersenyum melihatnya. Sudah menjadi perilaku anak itu jika sakit akan merengek. Dulu, seringkali anak manis itu meminta pelukannya.

"Lain kali, kalau memang hujan deras, tunggu di sekolah."

"Maaf, Ma."

"Nggak papa. Maafin mama juga kemarin nggak bisa jemput. Kenapa nggak bareng Kak Denta atau Kak Afka? Bibi bilang kamu sering dianterin pulang."

Alan hanya menggeleng masih dalam pelukan mamanya. Ah, ia jadi teringat peristiwa kemarin kan.

"Lagi marahan?"

Anak itu kembali menggeleng dengan kelopak mata yang sudah setengah terpejam. "Aku nggak pernah marahan sama Kak Denta, Mama. Kemarin aku nggak langsung pulang."

"Ya udah. Mau tidur lagi? Bibi udah bawain kompres biar tidurnya nyaman."

"Mau gini aja." Pinta anak itu membuat sang mama menatap Mina.

"Memang seperti itu, Bu, kalau sedang sakit."

Denara menghela napas pelan. Bibi bahkan lebih tahu segala hal mengenai putranya. Sementara dirinya? Bahkan, Denara tak melakukan apa-apa ketika anak itu sakit selain memanggilkan dokter untuk putranya.

"Tiduran aja ya? Biar bibi bisa pasang kain kompresnya. Mama peluk nanti. Mau ya?"

Alan mengangguk, namun juga masih urung melepaskan pelukannya.

"Ma, jam berapa?"

Denara mengalihkan pandangannya, mencari jam dinding di kamar itu.

"Jam empat kurang sedikit. Kenapa nanyain jam?"

"Aku nggak usah tidur lagi ya? Nanti kesiangan."

"Mama nggak kasih izin ke sekolah ya? Badannya demam gini."

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang