Detak jarum jam dinding di kamar sudah menunjukkan hampir jam setengah delapan. Alan yang baru keluar dari kamar mandi lantas mengecek ponselnya kembali. Pesan dari Denta yang mengatakan sudah sampai membuat anak itu bergegas keluar. Namun, ketika pintu itu ia buka, ternyata abangnya lebih dulu muncul.
"Oalah. Udah tau?" Tanya Alfa seakan paham maksud sang adik.
Anak itu mengangguk. "Sama mama apa bunda?"
"Dua-duanya ada."
Si bungsu kembali mengangguk, lantas melangkah buru-buru. Rangkulan sang abang di pundak menginterupsi langkahnya.
"Abang mau kemana?"
"Turun dong! Ada tamu masak ditinggal ngedekem di kamar. Bisa digantung Bunda ntar." Balas Alfa lanjut berjalan, otomatis sang adik juga ikut serta.
"Abang ngomongnya dijaga. Nanti kedengeran bunda."
"Nggak masalah. Uang jajan udah aman dapet dari Tante. Menang banyak abang di sini." Balas Alfa santai, sedangkan si bungsu berusaha maklum. Pantas saja bunda selalu mengeluh ini-itu jika sudah berkaitan dengan abangnya. Meski begitu, Alan kelewat paham jika abangnya bukanlah sosok yang nakal. Sama sekali tidak.
"Nah, yang ditunggu udah muncul."
Anggra yang pertamakali menyadari presensi kesayangannya. Membuat tiga pasang mata turut tertuju ke arah yang kini tengah berjalan bersisian.
"Oke. Bunda nggak tau ya kalian mau happy-happy-an ngapain habis ujian. Tapi sebelum itu ayo makan dulu! Nggak boleh ada yang nggak makan dengan alasan apapun. Ayok!" Anggra bangkit paling utama, seolah memberi petunjuk agar semua yang ada di sana mengikuti.
"Ayo, Bro! Emak gue kalau udah bertitah nggak ada yang bisa ngebantah." Alfa berbisik menepuk pundak sosok yang paling dekat dengannya duduk, Denta.
"Alfa." Denara yang masih mendengar menegur.
"Enggak loh, Tan. Kan ngomongin fakta."
Denara geleng kepala. Tatapannya beralih pada sosok yang tampak lebih diam sedari tiba di rumahnya. Boleh tidak wanita itu berprasangka jika sosok kesayangan putranya itu mungkin sudah mengetahui hal kemarin?
"Ayo, Kak." Ajak wanita itu lembut, menyetuh lengan berbalut sweater lembut. Soaok yang rupanya tengah melamun itu akhirnya balik menatap, menorehkan senyum tipis.
***
Ruang tengah yang biasanya tenang, bahkan teramat jarang dihuni, kini diduduki empat sosok yang masih dalam tahap awal perkenalan. Tentu, minus dengan Alan. Denta yang khas dengan jiwa diamnya kini justru tampak lebih akrab dengan Alfa. Dua sosok itulah yang sedari tadi tampak mendominasi pembicaraan. Sebab pertama adalah karena Alfa banyak membicarakan topik seputar seni dan olahraga yang membuat Denta juga cukup nyambung. Sebab, kedua yakni karena pembawaan Alfa yang memang humble dan menyenangkan. Selanjutnya, karena Afka yang menurut Denta jauh dari biasanya. Dan sepertinya Denta tahu penyebabnya.
"Nonton horror lokal aja. Banyak juga yang seru!" Usul Alfa menyerukan.
"Jangan nonton, nggak semua suka nonton." Itu suara Afka yang dapat didengar semua orang untuk ketiga kalinya. Nadanya biasa saja, tapi mampu membuat ekspresi dua orang yang sudah begitu mengenalnya berubah drastis.
"Ya udah. Lo usul dong, Ka. Dari tadi diem wae! Kata adek gue malah lo yang paling rame." Alfa bersuara, di tengah acara nyemil nya.
"Nonton aja, Bang. Buat rame-rame. Bisa disambi juga." Itu suara Denta yang mendorong agar segera diputuskan. Tujuannya bersenang-senang, santai. Bukan justru ribut, tegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...