End

1.3K 51 4
                                    

Akalanka Dhefin Kavindra. Sosoknya kini berdiri mematung, menatap kamar yang bertahun-tahun ia tempati menjemput mimpi. Ada tekanan kuat yang menghimpit dadanya. Air matanya lolos begitu saja seiring dengan kelebat memori yang tersimpan muncul tak beraturan. Pagi ini ia masih di sini, tapi tidak dengan sore nanti. Menarik nafas dalam, lantas mengelurkannya perlahan. Tangan kanannya dengan kuat menarik knop, lantas menutupnya pelan, menghindari timbulnya suara yang diinginkan.

"Dek, udah?" Suara Alfa yang baru saja tiba di depan kamar mengalihkan atensinya. Sadar akan suatu hal, tangannya buru-buru mengusap jejak air mata di pipi kanan yang tak seberapa. Alfa tersenyum tipis, mengusap bahu sang adik.

"Udah ditunggu. Turun sekarang ya?" Tanya sang abang yang justru terdengar meminta.

"Bibi, saya titip rumah sebentar ya! Kalau ada apa-apa, hubungi saya." Suara pelan sang mama terdengar. Entah apa isi percakapan sebelumnya, Alan tak tahu. Lantas, berganti dengan suara bunda yang  pamit, tak lupa mengucap ungkapan terima kasih dengan tulusnya.

"Dek, abang ke kamar bentar. Ada yang ketinggalan. Kamu pamitan dulu, gih."

Si bungsu mengangguk. Langkah kakinya membawanya mendekat pada Mina. Tak perlu aba-aba, sosok manis itu memeluk wanita paruh baya yang sangat berarti untuknya.

"Bibi.. Makasih banyak udah banyak bantuin Alan. Udah jagain Alan selama ini. Alan sayang Bibi. Maaf udah banyak buat Bibi repot," ucap si bungsu benar-benar lirih. Ingin hanya Mina saja yang mendengarnya.

Mina menggeleng, mengurai pelukannya. Wanita paruh baya itu juga sama, tengah menahan tangisnya. Namun, tak ingin mengundang tangis yang lain, ia usahakan untuk tersenyum lebar.

"Aden, jaga diri baik-baik ya! Jangan lupa makan, jangan nunggu diingatkan. Kalau belajar jangan sampai kemaleman. Bibi juga sayang sama Aden." Pesan Mina seraya merapikan rambut anak manis itu.

"Alan titip mama ya, Bi."

"Mama bisa jaga diri baik-baik." Sahut Denara yang mendengar. Wanita itu menghampiri sang putra.

"Kak Denta jadi mau datang?"

Sang putra mengangguk. "Ditunggu bentar lagi ya, Ma?"

"Iya. Pasti ditunggu."

Denara menarik koper miliknya, membawanya mendekati pintu utama. Anggra juga melakukan hal yang sama. Sebab, sopir yang akan mengantarkan ke bandara sudah tiba. Pria paruh baya itu dengan cekatan mengambil semua bawaan dan menatanya di bagasi.

Denta pun sudah tiba. Anak itu mencium tangan Anggra, yang dibalas sebuah elusan pelan di pucuk kepala nya. "Si Afka nggak ikut?" Itu suara Alfa yang belum banyak tahu cerita adiknya. Anggra geleng-geleng kepala, menyuruh putranya segera masuk mobil, lantas dirinya sendiri pun menyusul masuk.

"Tante, hati-hati. Nggak papa, nanti Denta temenin."

Denara tersenyum, memeluk sosok yang sudah ia anggap seperti putranya sendiri. Wanita itu bisa merasakan jika tubuh yang ia peluk itu terasa kaku. Ia paham atas keterkejutan yang dirasakan.

Denta merasakan kehangatan itu. Meski ragu, tangannya kini bergerak balik memeluk. Hampir saja air matanya meleleh jika adiknya tak bersuara.

"Jadi, aku dicuekin ya?"

Sang mama geleng-geleng kepala, pun dengan sang kakak yang yang terlihat salah tingkah.

"Tante masuk ya, Kak." Pamit Denara lantas memasuki pintu mobil bagian tengah.

"Buat kamu." Denta menyerahkan paper bag yang ia bawa. Entah apa isinya Alan tak tahu menahu.

"Dibuka nanti ya."

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang