Alan cukupi tahu diri untuk tidak membuat mood Afka semakin bertambah buruk. Jadi, yang bisa ia lakukan adalah meminimalisir pertemuan ataupun interaksi yang melibatkan kakaknya. Sama seperti saat istirahat ini yang ketika sebagian besar lebih memilih ke kantin, Alan melenceng ke perpustakaan. Tentu saja ia beralibi terlebih dulu, meyakinkan Denta jika ia memiliki keperluan dan akan berusaha menyusul ke sana.
"Hai anak manis."
Alan tak yakin jika seseorang memanggilnya. Namun, mendengar derap langkah menuju ke arahnya, anak itu mengalihkan pandangan dari buku bacaannya.
"Kak Tera?"
Tera tersenyum lebar, ikut mendudukan diri di samping anak itu. Tera memang cukup dekat dengan Alan meskipun gadis itu adalah kakak kelasnya. Sebab, Tera dululah yang didaulat sebagai murid berprestasi seantero sekolah. Alan banyak belajar darinya.
"Sendirian aja?"
Alan mengangguk, tak lupa dengan senyumnya. "Lagi pengen menyendiri, Kak," ucapnya dengan nada canda.
"Ada-ada aja. Lama kakak nggak lihat kamu."
"Kakak latihan ujian mulu, sih."
"Semua anak kelas sembilan juga latihan ujian. Aku emang jarang ke perpus di jam istirahat, sih. Di jam kapan pun bisa soalnya," balas gadis itu tertawa kecil.
"Eh, gimana persiapannya? Bentar lagi loh."
"Semoga bisa ya, Kak."
"Pasti bisa. Jangan jadiin beban. Enjoy aja! Kalah nggak masalah, nggak ada juga kata kalah sih. Sampai situ aja udah hebat. Piala kamu juga udah banyak. Lumayan, nggak menuh-menuhin kamar."
Alan terkekeh kecil menanggapinya. "Aku belum puas kalau belum bisa ngalahin kakak." Canda anak itu semakin menjadi.
Tera geleng-geleng kepala. Tapi, ikut tersenyum juga melihat wajah si manis yang berbinar terang.
"Ya udah, lanjutih ya! Mau cari buku juga. Semangat anak manis."
Si manis berterima kasih, meskipun ia selalu saja malu ketika seseorang memanggilnya semacam itu. Untung saja ia duduk di pojok baca belakang hingga bisa dijamin jika tak ada orang yang mendengar.
Lima menit sebelum bel masuk, Alan pergi ke kantin. Ia berencana membeli roti saja agar tak telat masuk kelas. Beruntungnya anak itu sebab justru hanya tinggal Afka yang masih berada di meja yang biasanya mereka tempati. Mau tak mau, Alan menghampiri meja biasanya tak ingin terlalu mencolok menunjukkan aksinya.
"Kakak sendiri?" Alan sudah mendudukan diri. Sementara Afka yang tengah meminum teh manisnya mengangguk. Oke, Alan menyadari jika pertanyaannya saja memang tak memerlukan jawaban.
"Duluan, nggak papa kan?" Afka sudah berdiri dari kursinya.
Alan yang masih memakan rotinya menegakkan pandangannya. "Kenapa nggak bareng sekalian?"
Afka tak menjawab apa-apa. Namun, remaja awal iru kembali duduk di kursinya. Alan sendiri cukup tahu diri untuk tak membuat kakaknya berlama-lama menunggu. Jadi, meskipun Alan tahu jika makan terburu-buru itu tak baik, ia tetap melakukannya.
"Nggak usah buru-buru, ntar kesedek."
Alan mengangguk, melambatkan tempo makannya. Hingga saat dirinya telah menghabiskan sebungkus roti berukuran sedang, sebuah gelas mendekat ke arahnya.
"Makasih, Kak," ucapnya yang diangguki si pelaku.
"Kak." Panggil yang lebih muda sebab meskipun mereka berjalan bersisian, tak ada suara apapun yang keduanya ucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...