Part 23

626 56 0
                                    

Afka sudah melontarkan banyak ucapan, permintaan maaf, pertanyaan, dan lain sebagainya. Namun, tak ada jawaban apapun. Adiknya itu hanya diam, tak mau menatapnya. Bahkan ketika tangan Afka kembali usil mencubiti kedua pipi adiknya, sama sekali tak direspons ataupun ditampik seperti sebelumnya.

Puncak kekesalan Afka semakin menjadi ketika adiknya menunjukkan jika memang tengah sengaja mengacuhkannya. Alan terus mengajak Denta berbicara dengan begitu antusiasnya. Suara Afka yang menyela seolah tak seperti angin lalu. Belum lagi Denta yang biasanya menjadi penengah, kini memilih tak ikut campur.

"Sumpah! Bisa beneran gila gue." Afka sudah frustrasi sendiri. Ini pertama kalinya Alan mendiamkannya seperti ini.

"Dek, ayo bilang maunya kamu apa? Sebelum beneran pulang, nih." Afka kembali mendekati yang lebih muda, menciba berucap dengan sehalus mungkin dan semanis mungkin.

Namun, nihil sebab masih tak ada respons apa pun. Hingga kemudian Afka memilih bangkit berdiri dari duduknya. Kedua kakinya sudah meghentak-hentak  melangkah mendekati pintu.

"Fix, aku bakal balik sekarang. Jangan nyesel kalau nggak bakal bisa ketemu atau ngomong sama aku lagi! Manusia nggak ada yang tahu kan kapan bakal mati? Siapa tau abis ini aku jatuh dari tangga atau ketubruk apa di jalan."

Sungguh, rasanya Denta ingin sekali menutup bibir Afka yang tanpa dosanya mengeluarkan kata-kata seperti itu untuk adiknya. Ingatkan Denta untuk mem-briefing-nya lain kali. Fokus Denta hanya pada sang adik yang terdiam berpikir dalam. Afka seharusnya memikirkan apa dampak dari ucapannya. Bahkan, dikenai nada yang tinggi saja Alan tak bisa. Apalagi dengan ucapan seperti tadi.

Rupanya Denta kalah cepat menggapai adiknya. Sudah ada Afka yang dengan wajah khawatirnya mendekat. Jujur, Afka tak bermaksud. Namun, selalu saja seperti itu jika sudah lepas kontrol. Kalau sudah seperti ini, memang hanya sesal yang ada. Ah, Afka makin frustrasi sekarang ini.

"Please, jangan nangis. Maaf, serius, kakak nggak sengaja. Janji nggak bakal ngulang lagi, bakal ngomong yang baik-baik. Kakak cuma kesel didiemin dari tadi." Afka sudah kebingungan, memeluk adiknya, lantas melepasnya untuk kembali mengecek wajah adiknya seperti apa

Tidak, Alan belum menangis. Hanya saja, mungkin akan, sebab anak itu hanya terdiam dengan wajah yang sudah memerah. Belum lagi, netranya tampak berkaca. Itu sebabnya Afka panik sendiri. Jangan sampai ia berdosa lagi membuat adik kesayangannya menangis. Belum lagi Denta pasti akan menceramahinya habis-habisan setelah ini.

"Dimaafin ya? Janji ini terakhir kalinya ngomong yang jelek-jelak."

"Sama siapa pun?"

Ah! Kalau untuk itu Afka tak yakin. Oh, bahkan sepertinya mustahil kalau Afka boleh jujur. Namun, daripada berujung kericuhan, Afka mengangguk saja. Masalah itu bisa belakangan. Untuk sekarang ini, yang terpenting adalah membuat adiknya percaya.

"Kalau sampai ngulang?" Alan bertanya lirih.

"Marahin aja. Tapi, bakal diusahain nggak ngulang. Oke?" Anggukan Alan membuat Afka jauh lebih lega.

"Sini peluk dulu." Afka sudah merentangkan kedua lengan tangannya. Rasa lega muncul sepenuhnya ketika yang lebih muda memeluknya. Aman, setidaknya Denta tak akan memburunya. Jujur, Afka bingung sendiri kenapa kadar sensitif adiknya semakin tinggi. Apa karena ulahnya sedari kemarin? Atau karena Denta? Atau karena mama dari adiknya sendiri? Afka tak tahu pasti yang jelas ia sudah kapok sekali.

"Jadi tetep pulang?"

Afka mengangguk. Sejujurnya, ia tetap ingin di sini. Namun, ia sudah diteror mamanya untuk pulang. Papa nya sepertinya akan marah mengetahui kelakuannya di sekolah kemarin. Ditambah acara kaburnya yang membuat orang rumah kebingungan. Jadi, bisa dibilang pagi ini ia akan disidang.

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang