Part 29

575 60 2
                                    

Semisal ada typo, kasih tau aku ya! Thank you sayang-sayangku 💞💞

 \(○^ω^○)/

Dari ribuan hari yang Alan lalui, hari favoritnya masih jatuh di saat ia bertemu mama. Namun, jika yang ditanyakan hari terfavorit baginya, maka Alan tanpa ragu akan menjawab 'hari di saat mamanya benar-benar kembali,' meskipun sampai saat ini ia masih belum tahu sebab akibat dari semua yang terjadi.

Rasa penasaran itu tetap ada. Hanya saja Alan harus menahannya. Alan percaya, tiba masanya nanti, ia juga akan mengetahui semuanya. Alan yakin dengan hal itu.  Sebab percuma juga bukan jika ia menuntut untuk tahu?

"Sayang, mau mama bikinin apa buat nemenin belajar?" Suara Denara mengalihkan perhatian sang putra dari buku di hadapannya.

"Nggak perlu, Ma. Selama salad bikinan mama masih, aku nggak tertarik sama apa-apa." Balasnya tak lupa memberikan senyum manisnya.

"Dasar, siapa yang ngajarin anak mama ginian?" Denara terkekeh kecil.

"Ya udah, biar mama ambilkan. Emm, brownies atau keripik yang dibeli Bibi kemarin mau?"

"Iya. Terus aku nggak belajar, tapi ganti jadwal makan."

Denara hanya bisa tersenyum, mencubit pipi putranya yang tengah memasang wajah kesal. Semakin ke sini ia semakin tahu jika putranya juga busa kesal seperti anak lain. Tidak hanya tersenyum dan menangis seperti yang sering ia lihat dulu.

"Tiga hari lagi?" Denara kembali masuk membawa dua cup salad, beberapa irisan brownies coklat, dan satu toples kecil keripik kentang. Tak lupa dengan sebotol air lemon dingin favorit putranya.

Alan mengangguk, lantas membantu mama nya memindahkan bawaan dari nampan ke meja lain yang tak jauh dari meja belajarnya. Sebab, meja belajarnya sudah dipenuhi buku dan kertas yang tak bisa dibilang rapi peletakannya.

"Bu, ada Den Afka dan Denta di luar." Mina muncul dari balik pintu. Sementara Denara langsung bangkit dari duduknya.

"Mama yang minta kakak ke sini," ucap Denara memberi penjelasan.

Anak itu mengangguk, lantas memilih melanjutkan kegiatannya. Sayang jika harus berhenti sebab ia tengah gemas dengan jawaban yang belum juga terpecahkan.

"Uluh-uluh. Belajar terus sampe lupain kakaknya." Afka yang baru saja masuk langsung mencubit kedua pipi sang adik dari belakang. Alan yang sedang serius-seriusnya menahan kesal. Denta yang melihat langsung mencubit kedua lengan Afka bergantian, membuat si empu lengan melepaskan cubitannya. Afka mendadak anteng, sadar jika adiknya memang sedang tak ingin diganggu.

"Kak, kamarnya mau dua atau satu?" Denara muncul dari balik pintu.

"Kakak tidur di sini?" Tanya yang termuda yang dibalas Denta dengan anggukan.

"Tidur bertiga di sini aja, Tante." Afka membalas pertanyaan yang belum terjawab.

"Memangnya muat? Nanti desak-desakan, loh!"

"Denta bakal tidur di sofa, Tan. Ya kan, Ta? Biasanya juga gitu."

Untung Denta sabar dan akan lebih sabar untuk seterusnya. Memang benar, sih. Tapi, bukan seperti itu juga. Afka memang sahabat paling pengertian.

Denara tampak tak yakin. Lebih ke tidak tega sebab panjang sofa terlihat kurang pas dengan tinggi badan Denta. Sedikit banyak ia tahu jika anak dengan wajah imut itu memang banyak bercanda. Hanya saja, ia tidak tahu apakah konteks untuk saat ini adalah candaan.

"Tante siapin satu kamar ya?!" ucap Denara lebih terkesan seperti pemberitahuan, bukan pertanyaan.

"Kamar yang baru disiapin mama buat Kak Afka aja," ujar Alan setelah kepergian sang mama.

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang