Fajar mulai menyingsing. Swastamita di lajur timur merekah merona. Perlahan, sorot hangat mentari menyapu bumi, membuat titik-titik embun di pucuk daun menyelasar terjun turun.
Ditemani televisi yang sengaja dinyalakan tanpa suara, Dena terduduk resah memegangi ponsel dengan tangan kirinya. Mengapa sepagi ini? Sebab ia rasa hati dan pikirannya masih kondusif daripada waktu-waktu lain. Sejujurnya, ia juga tak berharap lebih panggilannya akan terhubung. Jika bukan mengingat ucapannya tempo, ia belum tentu melakukannya. Rasa egois dalam dirinya masih sedikit lebih berat takarannya.
"Nara?"
Suara khas sang ibu terdengar lirih. Denara tak secara langsung balas berkata. Hingga pada akhirnya satu kata lolos setelah jeda lama.
"Ya." Jawabnya singkat. Terdengar tak beremosi dan bernada.
"Ibu minta maaf."
Denara tersenyum miris. Sebentar, ia masih menunggu lanjutan dari kalimat sang Ibu.
"Ibu melakukan banyak kesalahan. Maaf karena Ibu baru mampu mengatakannya sekarang."
Setetes cairan bening asin keluar melalui sudut mata kirinya. Rasanya sesak. Semua emosi, beban, dan segala sesuatu yang menyumpal dadanya kini menyembul dengan brutal. Bayangan saat-saat sang ibu memperlakukannya berbeda, berat sebelah dengan saudara tuanya membuat sesak itu kian terasa.
Dahulu, dirinya bertanya-tanya, apa benar statusnya memang anak kandung sang ibu? Mengapa segala hal tentang pakaian, fasilitas, ataupun barang makan pun harus dibedakan? Segala pekerjaan rumah harus ia yang menyelesaikan, dibantu bibi yang tak bisa juga diandalkan setiap hari. Sementara sang kakak dibebaskan tanpa tuntutan.
Dalam hal pelajaran, semua nilai harus sempurna. Tidak boleh ada hari tanpa prestasi. Teman? Banyak, tapi tidak ada yang benar-benar menjadi temannya. Tak ada kata bermain dalam kamus hidupnya semenjak ia menginjak bangku menengah pertama.
Gadis lembut nan penurut. Sebelum akhirnya rasa kecewa dan amarah yang ia kubur dalam-dalam berakumulasi dan membenam tersimpan. Waktu perlahan membuatnya berubah. Hingga kemudian entah bagaimana hatinya busa terbuka mengenal ayah putranya.
Masalah restu? Denara tak mudah mendapatkannya. Butuh waktu dan usaha. Hingga kalimat protes yang akhirnya ia ungkapkan mampu membuat sang ibu terdiam lantas mengizinkan. Itu pun ia yakin sebab usaha Kavindra yang memang menunjukkan ketulusan dengan banyak nilai plus yang ia punya. Atau apakah sebab sang ibu yang sudah cukup sadar akan perlakuannya? Entahlah, masalah itu hanyalah ibunya yang tahu.
"Nara. Kamu mendengar Ibu bukan?"
Ada jeda cukup lama. Denara butuh meredam tangisnya.
"Ya." Balasnya singkat.
"Pulang lah. Jenguk Ibu sebentar. Ada banyak hal yang ingin Ibu sampaikan."
"Aku belum ada waktu."
"Tak apa. Ibu akan menunggu."
Jeda. Tidak ada yang bersuara.
"Sudah. Hanya itu yang mau ibu sampaikan. Ibu putus sambungannya ya."
***
Anggra siap menghadang sang adik yang baru saja kembali mengantar putranya. Sebagai informasi, pagi ini Denara tak turut hadir untuk sarapan bersama. Wanita itu hanya keluar untuk mengantar kesayangannya. Alasannya sebab berangkat siang, jadi lebih luang untuk sarapan di waktu kapan saja.
"Mbak cuma mau bilang makasih. Seenggaknya kamu udah ada niat mau pulang. Meski Mbak nggak tau itu kapan."
Jeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...