"Bibi masak apa?" Tanya si manis mengejutkan Mina yang sedang mengaduk masakan.
"Astaga, Aden ini ngagetin Bibi saja."
Anak itu terkekeh kecil. Meminta maaf atas ketidaksengajaannya yang sedikit disengaja.
"Loh, masih pagi kok sudah rapi?"
"Mau berangkat pagi, bawa lukisan soalnya. Biar di bus bisa aman, Bi."
"Ya sudah. Tunggu sebentar lagi ya sarapannya."
Anak itu menggeleng pelan. Niatnya ia akan sarapan di sekolah. Atau jika tidak, ia masih punya beberapa bungkus roti pengganjal lapar andalannya. Jika ia harus menunggu, tentu sang mama akan berpotensi besar melihatnya. Sementara dirinya sedang berusaha untuk tidak mengusik sang mama selama yang ia bisa.
"Alan sarapan di sekolah aja. Pamit ya, Bi," ucapnya kemudian menarik tangan wanita paruh baya itu iluntuk dicium.
"Hati-hati. Beneran sarapan ya! Jangan bohong sama Bibi." Pesan Mina yang diacungi jempol oleh si manis.
Anak itu mempercepat langkahnya. Masuk ke kamar untuk memakai sepatu dan sweater favoritnya, lantas mengambil tas juga lukisan buatannya kemarin untuk diserahkan pada Revan.
Kaki jenjangnya melangkah meninggalkan rumah. Butuh waktu lebih dari sepuluh menit untuk berjalan sampai di jalan raya depan. Selebihnya, butuh waktu sekitar dua puluh menit untuk menaiki bus sampai sekolahnya.
Nyatanya, sampai di sekolah pun anak itu tak menepati ucapannya untuk sarapan terlebih dahulu. Bukan karena ia menyepelekan pesan Mina, tetapi karena memang selalu ada waktu-waktu seperti ini. Masa-masa saat untuk sekedar menelan makanan pun rasanya sangat sulit. Anak itu tak akan memaksakan diri untuk makan, kecuali jika memang benar-benar merasa sangat lapar. Jikapun makan, itu pasti karena perintah Afka atau Denta yang tak bisa dibantah. Sepulangnya, ia makan hanya untuk menenangkan hati Bibi. Mungkin bisa dikatakan hanya mengotori piring, sebab nasi yang ia ambil nyatanya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan nasi kucing.
Tangan berjari panjang itu meraih ponsel pemberian bunda, mengecek notifikasi pesan. Hanya beberapa nomor yang ia simpan. Predikat pengirim pesan terbanyak tentu saja jatuh pada sang bunda. Ponsel itu pun belum lama ia miliki, sekitar tiga setengah bulan setelah ia masuk kelas tujuh, lengkap dengan sebuah laptop impiannya.
Alan tak pernah meminta barang sekalipun. Bahkan, ia merasa tak berhak meminta sesuatu dari bunda mengingat perempuan cantik itu sudah memberikan banyak hal yang tak terhitung untuknya. Entah darimana bunda bisa tahu. Ia saja begitu terkejut mendapati Bibi membawa dua benda itu ke kamarnya. Saat itu, Bi Mina bilang bunda yang memberikannya melalui temannya yang tak lain ialah Pak Revan.
Selesai membalas pesan-pesan yang masuk, sosoknya berjalan ke loker penyimpanan ponsel. Lalu kembali duduk membuka buku bacaan.
"Dek." Suara seseorang yang baru saja datang menghampiri mejanya. Afka masih menggendong tasnya.
"Kenapa, Kak?"
"Denta sakit, nggak berangkat hari ini."
Alan mengangguk. Pandangan kosongnya mengikuti gerak-gerik Afka yang akhirnya duduk di sebelahnya. Biasanya, Afka dan Denta akan duduk bersebelahan. Sementara teman sebangkunya ialah Candra si ketua kelas.
"Kak Denta sakit apa?"
Alan menyuarakan pertanyaan yang bersemayam di kepalanya. Pasalnya, Denta itu tak pernah absen selama ini. Bahkan, dalam keadaan demam sekalipun Denta akan memaksakan diri ke sekolah. Sangat wajar jika anak itu khawatir.
Afka terdiam, bingung bagaimana akan menjelaskannya. "Nanti kita jenguk ya? Biar tahu."
Alan mengangguk kembali, membuat Afka sedikit lebih lega sebab tak perlu mencari-cari kalimat yang pas jika anak itu tak cukup dengan ajakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...