Part 4

1.2K 96 0
                                    

"Kak?"

"Hmm, apa?"

"Yang tadi gimana?"

Afka memelankan langkahnya, menatap sosok manis yang entah sejak kapan diaku-aku menjadi adiknya. Ditariknya lengan sang adik agar jalan anak itu tak jauh darinya.

"Kita cari kantin ya?"

Sosok yang diajak mengangguk, mengingat jika hal yang akan dibicarakan memang sangat penting.

"Kamu mau apa? Sekalian makan ya?"

Alan menggeleng. "Tadi istirahat udah makan."

"Tapi, aku laper. Butuh ditemenin makan."

"Terserah aja." Anak itu akhirnya mengalah, daripada harus berlama-lama menunggu. Ia sungguh tak sabar mendengar semuanya. Toh, seberani apapun ia mendebat, ia akan tetap kalah.

"No." Afka menggeleng, lantas melenggang pergi meninggalkan yang lebih muda dengan satu tangan mengambang tengah memegang uang.

Si manis hanya bisa pasrah. Hal seperti ini juga kerap terjadi. Afka memang terbilang royal pada siapapun, terlebih ayahnya memang seorang pengusaha ternama. Tapi, Alan juga tak mau menerima begitu saja. Ia akan melakukan cara lain untuk membalasnya. Misalnya, dengan memasukkan uangnya secara diam-diam ke tas kakaknya. Atau mungkin ia akan giliran mentraktir kakaknya tanpa berkata terlebih dahulu.

"Jadi, gimana, Kak?"

"Ya ampun. Kamu nggak sabaran banget ya! Biarin aku makan dulu." Afka berucap dengan nada gemasnya.

Alan tentu saja kesal. Bukannya ia tak berempati jika sang kakak lapar. Namun, ia jadi sanksi jika kakaknya ini memang sedang berniat usil atau bagaimana.

"Mukanya jangan ditekuk. Beneran kok habis makan diceritain," ucap Afka terkekeh puas. Adiknya itu sangat jarang sekali terlihat kesal. Namun, sekali kesal membuatnya ingin kembali lagi menyaksikannya. Tapi, sepertinya masih perlu dipikirkan lagi mengingat ia tak akan rela jika sampai anak itu ngambek sungguhan padanya.

"Jelasinnya mulai dari mana ya?" Monolognya setelah selesai makan.

"Kak, serius dulu bisa?"

"Emang lagi kelihatan nggak serius?"

"Kak."

"Oke-oke, ini serius. Tapi, dengerinnya sambil makan. Lagian kamu makan apa ngemut permen, sih. Gak peduli deh, pokoknya harus habis, nggak boleh bersisa! Kamu kurusan tau."

Anak itu tak bersuara. Namun, tangannya terus menyendok, pun dengan mulutnya yang terus diam mengunyah.

"Denta punya adek. Umurnya cuma beda dua tahun sama dia. Tapi, adeknya udah tenang kurang lebih dua tahun lalu. Itu yang buat dia pernah depresi, harus pake obat biar bisa tidur, harus sering check up rutin juga ke psikiaternya. Kamu bayangin deh, Dek. Mamanya udah nggak ada pas dia TK dan tiba-tiba adek yang dia sayang banget juga ikut pergi."

"Kenapa Kak Denta nggak cerita?" Anak itu bertanya lirih. Sesungguhnya daripada marah, ia lebih kecewa pada dirinya sendiri.

"Dia gak bakal cerita ke siapapun. Aku juga baru tahu belum lama, itu pun karena papa sama ayahnya Denta yang cerita. Kalau gak karena cerita mereka aku juga gak bakal tahu. Yang aku tau, dia emang banyak berubah sejak adeknya gak ada."

Jeda.

"Sekali-kali, coba omelin dia."

Hening.

Alan masih diam, mencari korelasi antara dirinya dengan ucapan kakaknya barusan.

"Kamu banyak miripnya sama adeknya Denta, apalagi kelakuannya. Mungkin itu yang buat dia sayang sama kamu."

Alan menatap manik mata yang juga tengah menatapnya, mencari kebenaran dari pernyataan yang ia denhar.

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang