Matahari telah pamit, digantikan dengan kerlip bintang dan bulan yang berganti menyambang. Tempat yang asing dengan suasana yang lebih asing. Setelah upacara pemakaman selesai, Alan belum juga keluar dari kamar. Anak itu hanya berbaring, menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut di kamar yang entah milik siapa. Ia tidak tidur, melainkan sedang bermain dengan pikirannya yang kian riuh.
Anak itu banyak diam. Tak ada lagi senyum manis menawan yang selalu ia terbitkan untuk tiap orang yang ia temui. Berganti dengan senyum sopan kala Risa memperkenalkannya pada keluarga dan kerabat. Alan tak terlalu peduli dengan segala anggapan dan respons mereka. Sebab, niat kedatangannya hanya untuk mengantarkan nenek di tempat pengistirahatan terakhirnya. Jika memang hanya rasa benci yang ada untuknya, ia berusaha memaklumi hal itu.
Entahlah, sepertinya orang-orang terdekatnya juga menyadari perubahan anak itu. Bahkan, Afka yang turut ikut bersama orang tuanya tidak berani mengusik sang adik seperti biasanya. Afka juga banyak diam. Kenyataan bahwa mereka mempunyai hubungan keluarga memunculkan dua rasa yang bertentangan. Ia bahagia, tetapi kecewa tak menyadari hal itu sedari lama. Pantas saja wajah adiknya tak asing untuknya. Afka memang pernah melihat wajah yang hampir serupa, yaitu ketika ia datang ke rumah ini dan tak sengaja melihat beberapa pigura yang ada.
"Boleh gabung tidur?"
Alan mengenali suara itu. Ia tak bisa menjawabnya. Sebab, ia yakin suara dan wajah sembabnya akan menunjukkan kondisinya di balik selimut yang menutupi tubuh dan wajahnya. Anak itu tidak kekanak-kanakan. Ia justru sedang berusaha mengurai semuanya dengan perlahan; mencoba berbicara dan berdamai dengan semuanya tanpa harus meluap-luapkan gejolak emosi yang ada. Hari-hari yang ia lalui sudah cukup berat, ditambah dengan hari ini yang terasa menguras seluruh gairah dan energinya.
"Tadinya kakak disuruh bawa kamu keluar. Banyak yang nanyain dan mau ketemu sama kamu."
Hening.
"Kamu emang pake dukun ya, Dek. Dikasih ajian apa, sih? Gampang banget buat orang-orang suka."
Jeda.
"Emang nggak sesek ditutupin gitu?"
Hening. Afka serasa sedang bermonolong. Padahal ia yakin seratus persen jika adiknya belum tidur. Helaan napas terdengar pelan. Afka merasa sudah hilang akal untuk sekarang ini.
"Dek, tahu nggak di sebelah kamar ini ada kamar siapa?"
"Tinggalin aku dulu, Kak."
Afka membeku. Sebuah kalimat pengusiran yang amat lembut itu justru merasuk relung hatinya. Ada rasa berkedut nyeri yang entah di mana pusatnya.
"Oke," ucapnya bergegas meninggalkan ruangan itu.
Terdengar suara pelan dari pintu yang tertutup rapat. Alan bangkit, menarik napas dalam beberapakali. Dirasa lebih tenang, anak itu masuk ke kamar mandi. Sepulang dari makam ia sudah mandi, berbekal baju ganti yang entah darimana Risa membawakannya. Dan sekarang ia memutuskan akan mandi lagi. Tubuhnya terasa panas, terlebih di bagian kepala yang membuat rasa pusing itu mendera, membuatnya ingin selalu ingin menarik rambut kepalanya.
"Kamu mandi lagi?" Tanya Risa memasuki kamarnya. Alan hanya mengangguk sekali, mengiyakan pertanyaan atau justru ungkapan dari tantenya itu.
"Makan dulu ya! Tante nggak tau kamu suka apa. Jadi, Tante bawain ini."
Alan menatap troli berisi makanan dengan berbagai jenisnya. Sajian makan yang bahkan bisa dimakan oleh tiga orang dengan porsi besar. Sesungguhnya, anak itu tak menyukai perlakuan yang seperti ini. Namun, ia paham jika kebiasaan di sini memang jauh berbeda dengan di rumahnya.
"Iya tau kamu lagi males makan. Wajar, kok. Tapi semoga aja ada salah satu makanan yang bisa buat kamu mau makan."
"Tante, di luar masih banyak tamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...