"Bun, aku ada sesuatu buat nenek. Boleh minta tolong bawain?"
"Bawaan bunda udah banyak." Sahut Anggra yang tengah mengoleskan selai coklat ke roti.
"Oh gitu. Ya udah lain kali aja, Bun," ucapnya kemudian menyuapkan kembali roti di piringnya.
Anggra geleng-geleng kepala. Anak modelan seperti kesayangannya jarang sekali bisa ditemui di zaman seperti ini.
"Ya boleh lah. Kamu mau nitip sekoper juga bunda bawain. Sopan gini siapa sih yang ngajarin? Gemes bunda itu!"
Anak itu tersenyum lebar. "Sekoper mau aku isi apa, Bun? Besok aja kalau aku udah bisa cari uang."
"Diisi kamu sendiri bisa."
"Nggak muat dong. Aku udah gede gini."
"Mau dikecilin lagi?"
"No! Aku ambilin bentar ya, Bun." Tegasnya menggeleng lantas mengambil langkah akan beranjak.
"Biar bunda ambil nanti. Habisin sarapannya terus berangkat, bunda anterin."
Si manis sontak menggeleng. "Aku berangkat sendiri aja. Nanti bunda repot."
"Darimana tau kalau bunda bakal repot? Mama kamu berangkat siang, nanti bunda anterin pake mobil mama kamu."
Jeda.
"Sayang, lagian kamu enggak capek jalan kaki sampai halte tiap pagi? Kalau mama kamu nggak mau nganterin, pesen ojek. Apa bunda sewain aja mulai dari sekarang?" Anggra mengucapkannya halus. Berharap ucapannya akan angguki meski mustahil.
"Nggak perlu, Bunda. Hitung-hitung sambil jalan-jalan."
Anggra tak bersuara lagi. Satu yang tak ia suka dari si manis kesayangannya. Selalu menolak dan tak ingin menerima sesuatu jika dirasa akan merepotkan yang lain.
"Bunda nggak marah kan?"
"Enggak, kapan bunda marah sama kamu. Lagian, buat apa bunda marah? Tapi, jadi mau dianterin kan?"
Anak itu mengiyakan, tak enak jika kembali menolak. Ia bukannya sungkan dengan bunda, hanya saja ia sudah semakin dewasa dan semakin paham jika tak selamanya ia boleh bergantung dengan perempuannitu meski bunda sendiri juga tak keberatan. Seharusnya ia bukan termasuk tanggung jawab bunda bukan?
***
"Kakak sakit?"
Alan yang baru saja menaruh tas di kursinya langsung berjalan mendekati meja belakangnya. Denta yang tadinya menenggelamkan kepala di meja berbantal jaket hitam polos mendongak. Netranya yang tadinya terasa lengket sehabis terpejam membuka perlahan.
"Gue ngantuk."
Anak itu mengangguk. Perasaannya mengatakan jika sosok yang lebih tua setahun darinya itu kesulitan tidur semalam. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi ia urungkan, menyimpannya untuk nanti.
Melihat Denta kembali ke posisi awal, Alan kembali ke kursinya. Sepeeti biasa, sosoknya memilih mengerjakan lembaran latihan soal yang ia bawa. Tak berselang lama, muncul Afka yang langsung mendudukan diri di kursi sebelahnya. Candra memang belum tiba, tak heran jika kursi di sampingnya belum dihuni.
"Tumben rajin."
Alan mendengar dan tahu pemilik suara itu, tapi ia diam saja. Bukannya mau berburuk sangka. Namun, bau-bau keusilan memang sudah mulai tercium. Hingga kemudian sebuah kursi bergerak mepet ke arahnya. Si pelaku sudah menyenderkan diri di bahunya.
"Kak!" Didorongnya Afka agar menjauh sebab tingkah kakaknya itu benar-benar menganggu geraknya. Namun, Afka juga tak tinggal diam, balik mendekatkan diri kembali. Alan mengalah, anak itu memilih berdiri dan membawa lembaran soal berserta alat tulisnya ke meja belakang. Tepatnya, ia duduk di sebelah Denta, kursi yang biasanya ditempati Afka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...