Bagian Delapan

890 86 5
                                    

Senin pagi dengan cuaca mendung. Rintik-rintik hujan jatuh dengan irama sedang memderai dasar permukaan. Sosok manis itu diam memandang rintik hujan melalui kaca jendela kamarnya. Ia suka hujan, tapi tak menyukai jika tubuhnya akan basah sampai di sekolah nanti.

Tak ingin kesiangan, ia segera melangkah keluar dari kamar. Tak lupa membawa mantel dan payungnya.

"Bunda baru aja mau nyusul buat sarapan. Sarapan dulu ya? Bunda cuma goreng telur tapi."

Sosok yang diajak bicara mengangguk, lantas mendudukan diri. Anggra dengan perhatian mengambilkannya makanan, menanyakan seberapa banyak porsi yang anak itu minta.

"Kamu kalau sarapan dikit gitu? Pantesan kurus. Makan siang juga dikit."

"Aku nggak kurus, Bun," protesnya di sela-sela makan. Menurutnya, ia tidak kurus. Indeks massa tubuhnya saja normal, ya meskipun nyaris kurus jika nantinya turun satu angka.

"Tapi pipi kamu dulu ngembung, sekarang nggak enak buat dicubit-cubit lagi."

"Bunda enak bisa cubit-cubit, akunya yang sakit kalau dicubit," ucapnya dengan wajah kesal yang dibuat-buat.

Anggra terkekeh kecil. Ia suka ketika wajah manis itu sudah berubah kesal.

"Dihabisin, bunda ke atas dulu."

Sosoknya mengangguk. Sebelum akhirnya tubuhnya diam membeku. Ia baru menyadari jika kamar bunda ada di bawah. Bahkan, semua kamar di zona atas adalah daerah khusus, dirinya saja hanya diperbolehkan masuk ke kamar sang mama. Ralat, bukan masuk, melainkan melewati koridor depan kamar untuk mengetuk pintu. Itupun harus dengan alasan yang jelas.

Hingga kemudian, dilihatnya sang mama tampak melangkah menuruni anak tangga, diikuti oleh bunda di belakangnya.

Wajah Anggra masih tenang-tenang saja, masih sama seperti saat pertamakali menyapa Akalanka. Demikian juga dengan air muka Denara yang juga datar-datar saja, seperti biasanya. Jadi, boleh anak itu simpulkan bukan jika tidak terjadi apa-apa di antara dua perempuan yang amat ia sayangi itu?

Mama melangkah lurus, sementara bunda menyempatkan diri menghampirinya. Buru-buru ia habiskan makanan yang masih tersisa.

"Berangkat sama mama kamu ya? Hujannya makin deres, nanti basah."

"Bunda nggak perlu lakuin ini."

"Terus bunda harus tega biarin kamu jalan kaki sampai halte depan, basah-basahan gitu? Udah, ayo minum dulu dan berangkat."

"Makasih, Bun. Maafin aku."

Anggra mengangguk, tersenyum tipis. Tak ingin membuat anak itu kepikiran. Hingga kemudian langkahnya mengantarkan langkah si manis sampai depan. Alan pamit, mencium punggung tangan kanan bunda.

"Hati-hati ya! Semangat belajar sayangnya bunda," ucap Anggra selembut mungkin membuat Alan tersenyum haru.

Anak itu meyakinkan diri melangkah menuju garasi. Mesin mobil sudah menyala sedari tadi dengan Denara yang sudah duduk di kursi kemudi. Sang putra dengan ragu mendekati pintu belakang. Hingga belum sampai pintu belakang ia buka, pintu depan sudah dibuka dari dalam. Alan terlampau peka jika sang mama menyuruhnya duduk di depan. Jadi, sebelum membuat mama membuka suara, ia bergegas masuk.

Sosoknya urung membuka suara. Sebagai anak yang baik ia duduk manis saja. Denara juga tentu tak berniat membuka suara. Kecuali, jika ia benar-benar sudah dalam suasana hati yang buruk. Itu sebabnya Alan sedikit lega ketika sang mama diam saja. Sedari tadi ia khawatir jika wanita yang melahirkannya itu akan kembali mencapnya sebagai anak yang merepotkan.

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang