Setelah melangkah berkeliling, berbelok-belok mengikuti alur bangunan dan ruangan hingga mesti masuk-keluar lift, tibalah keduanya di ruang tujuan. Alan menatap lamat-lamat tampakan luar HCU di hadapannya. Belum sampai Risa membuka pintu, akses keluar- masuk itu sudah terbuka lebih dulu.
Wajah anak itu menengadah, penasaran dengan sosok jangkung di hadapannya. Ia kembali menunduk mendapati sosok itu turut menatapnya dengan kondisi mata memerah. Entahlah, Alan hanya merasa semua sedang tak baik-baik saja. Dapat ia rasakan jika detak jantungnya semakin menjadi-jadi. Ketakutan, kecemasan, dan khawatir itu membumbung menyatu; terasa mencekiknya, mencuri pasokan oksigen dari udara yang ia hirup saat ini.
Anak itu perlahan mengatur napasnya agar kembali teratur seperti normalnya. Melempar jauh-jauh semua hal yang melalang buana di benaknya. Meyakinkan diri sendiri jika semua hanya bisikan tak berdasar yang meracuni jiwanya.
"Mas?" Suara Risa yang lirih menyibak rasa sunyi. HCU kelas VVIP memang begitu sunyi. Hanya terdengar suara bunyi mesin penyokong hidup yang akan terdengar kala seseorang masuk ke dalamnya.
"Ibu sudah tenang."
Alan tersentak. Kalimat itu tak perlu ia pahami lebih lanjut. Kalimat istirja' yang dilisankan Risa semakin menyadarkannya jika hal yang ia anggap mimpi ini nyata. Bibirnya kelu, otot kakiknya melemas membuat tubuhnya limbung seketika. Jika Risa dan Praksa tak sigap, mungkin tubuhnya sudah luruh mendarat di lantai dingin itu.
Alan masih sadar. Hanya saja rasa mual, pusing, dan sulitnya meraup udara benar-benar membuatnya tak berdaya. Dapat ia rasa jika kedua sosok di dekatnya membawanya masuk lalu merebahkannya di sofa. Kedua sepatunya yang dilepas juga masih bisa ia rasakan pun dengan bagaimana telapak tangan dan kakinya yang terus diberi pijatan. Bagaimana kepanikan Risa yang terus mengoleskan minyak hangat di beberapa area membuat dayanya perlahan kembali.
"Minum ya?"
Alan meneguk pelan segelas air putih yang Risa pegangkan untuknya. Namun, ia hanya mampu meneguknya beberapa teguk saja. Perlahan, anak itu berusaha bangun untuk duduk, dibantu Risa yang menyokong tubuhnya dari belakang.
Sunyi itu kembali menyapa. Tidak ada suara khas mesin yang seharusnya terdengar. Tak ada lagi yang berbaring di bed sana.
"Sayang."
Jeda.
"Kamu butuh apa? Apa yang dirasain? Mau Tante panggilin dokter?"
Anak itu menggeleng pelan. Tak ada sedikitpun isakan yang keluar. Meski begitu, air matanya mengalir turun.
"Maafin, Tante."
"Tante baru bisa ketemu kamu sekarang."
"Mama ya?" Tanyanya lirih. Risa mengangguk pelan meski ragu. Alan mengarahkan pandangannya pada sosok yang ia rasa memerhatikannya sedari tadi. Sosok itu baru ia lihat pertamakali, namun juga tak terasa begitu asing untuknya.
"Om Praksa. Saudara tua papa kamu."
Praksa memalingkan wajahnya menatap arah lain. Perkataan istrinya membuat rasa tak pantas itu kembali menjeratnya. Praksa tak baik-baik saja. Perasaanya campur aduk untuk saat ini. Hingga saat netranya kembali menatap anak itu, Praksa tersentak melihat anak itu menunduk menyembunyikan air mata di wajahnya. Risa mengelus bahu si manis pelan, menyampaikan isyarat agar Praksa turut mendekat.
Perlahan, dengan keraguan, Praksa mengambil posisi jongkok menghadap anak itu. Kedua lengan tangannya bergerak kaku menyentuh bahu sosok yang sudah banyak ia sakiti. Kini, bola mata bening yang menjadi sembab itu mengunci netranya. Praksa benar-benar tersentak. Melihat Alan dari jarak sedekat ini benar-benar mengingatkannya pada sang adik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...