Malam semakin larut. Wanita cantik yang terlihat awet muda dari usia seharusnya itu masih setia berdiri menunggu di depan pintu. Panggilan dan ucapannya tak terbalas. Pintu kamar putranya itu terkunci. Ia sudah mencoba membuka dengan kunci cadangan. Namun, rupanya pintu itu juga dikunci dari dalam. Mina juga sudah berusaha membujuk tuan kecilnya, tetapi sayang tak berbuah manis.
Denara terlampau khawatir. Ia tak tahu bagaimana kondisi putranya sekarang. Ia tak tahu sedang apa putranya di dalam. Pikiran-pikiran buruk itu terus merayap menghantuinya. Hingga kemudian, diketuknya kembali pintu itu dengan pelan, yakin jika putranya belum tidur dan masih dapat mendengar suaranya dari dalam sana.
"Sayang? Kamu denger suara mama kan? Mama minta maaf. Enggak usah dibuka gak papa. Tapi, jawab mama ya?"
Hening. Tak ada suara apapun dari dalam sana. Bahkan, isakan yang tadi masih terdengar lirih kini sudah hilang. Mina yang kembali datang turut bersuara.
"Den? Bibi khawatir sama Aden."
"Aku nggak papa, Bi."
Suara itu kini terdengar. Denara sedikit lega. Ia takut jika putranya melakukan hal-hal buruk seperti yang pernah ia lakukan dahulu. Namun, nyatanya putranya jauh lebih kuat dibanding dirinya.
"Ya udah. Sekarang Aden tidur ya?"
Tak ada suara yang terdengar. Mina paham jika sosok manis itu ingin dan butuh sendiri. Wanita paruh baya itu memilih membujuk sosok yang kini tampak kacau untuk beranjak pergi.
"InsyaAllah tidak akan ada apa-apa, Bu. Aden anak yang kuat. Percaya sama bibi, " ucapnya mengelus punggung yang kini tak setegap biasanya.
"Tapi, Bi.." Air matanya kembali luruh. Denara hancur. Ia kacau tak tahu bagaimana harus membenahi semua ini. Seharusnya benda-benda itu ia lenyapkan sedari dulu. Putranya pasti kesakitan. Putranya menanggung rasa sakit itu sendirian.
"Ibu juga harus istirahat. Aden butuh waktu, Bu."
Wanita itu mengangguk. Tak tega juga melihat Mina yang tampak kelelahan harus mengurus dirinya.
"Bibi duluan, nanti saya nyusul."
***
Sosok itu menyibak tirai putih di kamarnya. Di luar sana terang benderang. Memikirkan itu membuat air mata kembali menuruni pipinya. Netranya sudah terasa perih, panas. Tanpa berkaca pun ia sudah tahu jika matanya membengkak. Bahkan, tadi malam air matanya seolah sudah habis untuk keluar.
Ini kali pertama dirinya membolos tuk bersekolah. Ralat, bukan membolos, melainkan ia sedang sakit. Ya, batinnya yang butuh untuk disembuhkan. Tadi pagi bibi dan mama kembali bergantian membujuknya untuk membukakan pintu. Namun, anak itu masih enggan melakukannya. Bahkan, suara tangis mama yang membuat hatinya semakin teriris nyatanya juga tak mampu membujuknya.
"Den.. Buka pintunya sebentar ya? Aden harus makan, ini sudah siang."
"Aku belum lapar, Bi," balasnya lirih.
"Makan kan ndak harus nunggu lapar dulu. Ibu sedang di kampus, kok."
"Bibi tinggal aja, nanti aku ambil."
"Ya sudah. Bibi nurut, Aden juga harus nurut buat makan ya." Pungkasnya menaruh nampan itu di meja kecil luar kamar.
Anak itu menutup kembali tirai itu. Kakinya beranjak melangkah, bukan untuk keluar mengambil makanan yang dibawa Mina, melainkan kembali berbaring tidur di bed kamarnya. Selimut tebal itu sempurna menutupi seluruh tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...