Ada yang berbeda dengan barisan meja tengah. Afka yang biasanya duduk di bangku kedua dari depan bersama Denta, kini berpindah ke kursi kosong paling belakang. Duduk bersama murid yang ditinggal teman sebangkunya karena sedang berhalangan hadir. Sebenarnya hanya orangnya saja yang berpindah, sebab tas milik Afka juga masih berada di tempat biasanya.
Denta tak protes, hafal jika anak itu memang sudah biasa berbuat sesuka hatinya. Hanya saja, ada sesuatu yang Denta curigai. Tapi, ya sudahlah Denta tak ingin berspekulasi mengenai hal-hal yang buruk.
"Si Afka kenapa?" Tanya Candra yang justru menengok meja belakang.
"Maksud lo?" Denta balik bertanya.
"Tumben dari tadi diem mulu. Lo berdua nggak lagi ribut kan?"
Denta mengangkat kedua bahunya, tanda tak tahu. Seharusnya mereka tak punya masalah apa-apa. Tadi pagi saja mereka berangkat berdua diantar Pak Teguh.
Hingga kemudian, wali kelas mereka yang kebetulan mengajar pamit meninggalkan kelas. Ada rapat di sekolah lain pamitnya. Sebenarnya tak ada yang menyenangkan sebab tugas yang diberikan justru di luar nalar. Tak jarang banyak yang mengeluh, sudah berpencar mencari jawaban entah dari mana sumbernya.
Candra membalik kursinya menghadap belakang, sama halnya dengan Alan. Ketiga cowok yang memang paling tertib di kelas dengan tenangnya mengerjakan tugas yang ada. Tak lama kemudian, Angga bergabung menduduki kursi milik Afka.
Hingga bel istirahat terdengar, belum ada siswa yang selesai. Sudah dibilang tugasnya memang di luar nalar. Meski begitu, banyak siswa yang memilih menyerobot ke kantin lebih dulu untuk memenuhi hak mereka. Termasuk Afka yang kini balik ke mejanya untuk mengambil uang.
"Lo kenapa, Ka? Tumben pagi ini waras." Pertanyaan Angga yang blak-blakan sedikit membuat Candra geram. Dirinya yang sudah kepo daritadi saja mencoba tetap diam.
"Doain aja gue waras terus," balas Afka dengan santainya, tak luput dari pandangan Alan. Angga sedikit cengo. Seharusnya, Afka yang biasanya jauh dari kata mengalah.
"Duluan, Bro. Gue mau ngantin," pamit Afka melenggang pergi.
Ketiga pasang mata sudah mengalihkan pandangan mereka menatap Alan. Pasalnya, seharusnya Afka yang biasanya akan memilih tetap tinggal bersama Alan pun dengan Alan yang pasti akan meminta Afka untuk menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu. Seharusnya juga, Afka sudah akan menempel dengan Alan, menariknya ikut ke kantin bersama.
Seolah mengerti anak itu memilih bersuara. "Iya, ke aku, Kak."
"Kenapa lagi? Bingung gue, pasti si Afka ini yang mulai." Komentar Angga yang tak mendapat tanggapan siapa pun.
"Gue duluan, mau ke kantor guru ambil buku," pamit Candra mengajak Angga turut serta membantunya membawa buku yang bisa dipastikan berbentuk paket tebal.
"Kenapa lagi?" Denta kini membuka suara. Alan menghela napas pelan, mengecek keadaan sekitar untuk memastikan tak ada yang mendengar. Dengan pelan, anak itu menjelaskan asal muasal permasalahan.
"Nggak usah dipikirin."
Jeda.
"Kakak yang bakal bantu ngomong."
Alan sedikit terperangah. Denta menyebut dirinya kakak adalah hal paling baik yang pernah ia dengar dari Denta.
***
"Pembinaan berapa jam? Dua?"
Alan mengangguk-angguk. "Dijadwal dua jam, tapi tinggal tergantung juga, Kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...