Afka tidak pernah tahu tentang banyak hal yang dialami adiknya. Namun, sama seperti Denta, Afka juga tahu jika adiknya itu tak baik-baik saja. Dengan kedekatan ketiganya yang sudah terjalin cukup erat, mudah untuk mengetahuinya. Hingga kemudian, tanpa ia minta, adiknya menceritakan banyak kisahnya. Cerita yang lebih lengkap daripada apa yang ia dengar di taman waktu itu.
Sungguh, meskipun ia tahu jika adiknya menutupi banyak hal, Afka tak pernah menduga jika hal-hal tersebut sangat pilu untuk didengar. Bahkan, di luar sana banyak orang yang berbondong-bondong menyayangi adiknya. Namun, kenapa justru orang tuanya sendiri berbuat hal yang sedemikian? Rasanya Afka ingin marah.
Pantas saja, selama hampir dua tahun ini Afka belum pernah bertemu dengan mama sang adik. Baik di sekolah ataupun rumah. Padahal seharusnya wali siswa banyak dilibatkan entah dalam rapat, pengambilan rapor, acara sekolah, dan sebagainya. Jadi, itu alasannya adiknya selalu berangkat dan pulang seorang diri? Membayangkan apa yang dirasakan adiknya, Afka tak bisa untuk tak menangis. Perasaan adiknya yang selembut sutra, hati adiknya yang murni, dan wajah polos manis adiknya yang meneduhkan. Kenapa harus dilukai seperti itu?
"Kak, aku belum cerita karena takut. Bukan karena aku nggak percaya. Jangan marah sama siapa-siapa. Semua udah baik-baik aja."
"Kamu bahagia?"
Senyuman haru terbit di wajah teduh adiknya. Anak itu mengangguk mantap. Afka tak habis pikir, jika dirinya ada di poaisi itu, jalan ceritanya akan jauh berbeda.
"Kak Afka percaya kan?"
"Percaya apa?"
"Kalau aku juga sayang sama kakak. Kak Afka sama Kak Denta emang beda, tapi sama-sama baiknya. Jangan ngebandingin diri kakak sama yang lain. Kak Afka punya banyak kelebihan yang nggak dimiliki siapa pun. Soal ucapan Kak Denta, jangan dimasukin ke hati ya, Kak? Kakak pasti udah jauh lebih kenal Kak Denta dibanding aku."
Afka tersenyum tipis. Ucapan adiknya menimbulkan ketenagan di jiwanya. Tentang Denta, Afka sama sekali tak mempermasalahkannya. Ia sudah terlalu hafal. Baginya, ucapan Denta memang banyak benarnya dan ia justru butuh hal itu untuk menyadarkan dirinya. Afka justru kesal dengan dirinya sendiri yang meskipun berkali-kali sadar tetap saja belum bisa sepenuhnya merubah sifat buruknya.
"Jangan dipikirin, kakak nggak pernah ribut sama Denta. Tanya aja orangnya." Balas Afka menarik selimutnya kemudian berbaring bersiap untuk tidur. Sementara Alan masih duduk di tepi kasur, menatap sang kakak yang sudah terbenam dalam selimut. Afka memang tak terbiasa tidur larut. Jam delapan lebih adalah alarmnya tidur. Itu sebabnya ia akan bangun lebih dini di pagi hari.
"Kak."
"Hmm. Apa?"
"Aku beneran sayang sama kakak."
Afka hampir meledakkan tawanya. Untung saja kontrolnya sedang baik. Jika tidak, pasti adiknya akan menganggapnya lelucon dan berujung kesal. Jadi, adiknya sedari tadi justru memikirkan hal itu?
"Iya, percaya. Kakak lebih sayang sama kamu. Tidur sana." Usir Afka kembali mengeratkan selimutnya.
Alan masih diam tak bergerak. Kenapa perasaannya belum lega sepenuhnya? Oke, katakan dirinya begitu percaya diri. Namun, respons kakaknya yang biasanya tak seperti ini.
"Tidur sini aja." Afka hanya bersuara, tak berniat mengubah posisinya ataupun sedikit bergerak. Netranya juga masih terpejam. Tak ada balasan. Namun, Afka sadar jika adiknya sudah membaringkan diri di sebelahnya.
***
Afka beranjak dari bed dengan sisa energinya. Tubuhnya terasa lemas sebab sejujurnya makanan yang berhasil memasuki lambungnya berakhir harus keluar kembali. Muntah yang cukup membuat tubuhnya benar-benar tak nyaman. Belum lagi demam yang awalnya ia duga akan terjadi benar-benar terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...