Part 16

722 61 0
                                    

Pagi-pagi sekali, Alan sudah tiba di kelasnya. Si manis memang sengaja datang pagi sekali. Ia mempunyai janji dengan Raffa, hendak mencari buku baru di perpustakaan. Hanya ada satu tas di kelas yang ditinggal pemiliknya. Tas milik Afka. Padahal Afka juga termasuk jarang berangkat sepagi ini, mungkin memang ada kepentingan lain, pikirnya.

Alan melangkah menyusuri koridor yang masih sama sepinya. Orang-orang yang nampak berlalu-lalang masih dapat dihitung dengan jari tangan.

"Kak? Aku baru mau mampir ke kelas. Aku kira Kak Raffa udah di kelas." Sapa Alan menghampiri Raffa yang masih menggendong tas punggung miliknya.

"Belum, ini aja kepagian banget buat gue."

Alan tertawa kecil, sebab sama baginya, ini masih sangat terlalu pagi. "Sama aja, Kak."

"Eh, ikut ke kelas dulu ya? Mau naruh tas. Sekalian ke perpus, kan searah."

"Sekalian mindahin file kemarin aja, Kak."

"Oke," balas Raffa memulai langkahnya.

Alan sedikit membungkukkan tubuhnya saat memasuki kelas Raffa. Sebab, rupanya sudah ada beberapa orang di sana. Namun, ada yang membuat Alan merasa tak enak. Rupanya, beberapa anak OSIS justru tengah merapat di kursi belakang. Ada yang tengah berbicara, berdiri mendengarkan, dan duduk menulis.

"Sans aja. Mereka yang nggak seharusnya ngumpul di sini kok," ucap Raffa mengerti. Remaja itu meletakkan tas miliknya, lantas mengeluarkan laptop warna silver kepunyaannya.

Alan mengangguk, kemudian juga turut mengeluarkan flashdisk dari tempat pensil yang ia bawa.

"Oke, thanks ya, Lan." Raffa selesai memindahkan file.

"Santai aja, Kak. Cuma giliran juga."

Raffa menutup laptop miliknya. Sementara itu, ekor mata Alan terfokus menatap Afka yang tengah berbicara. Seharusnya Afka melihatnya bukan? Namun, berusaha biasa saja. Bisa jadi memang kakaknya itu tak memperhatikan lingkungan sekitar.

Hingga kemudian, Alan tak bisa untuk percaya jika Afka benar-benar tak mengabaikannya. Jelas, Afka tadi sempat bersitatap dengan netranya sebelum memalingkan kembali pandangannya. Jadi, percakapan kemarin sepulang sekolah memang tak berarti apa-apa bukan?

"Semangat rapatnya, Guys!"
Raffa berucap cukup keras hingga beberapa anak OSIS menoleh dan menanggapinya.

"Yoi! Mangats belajar anak-anak ambis!" Balas salah satu dari mereka yang hanya ditanggapi kekehan oleh Raffa sementara Alan hanya bisa tersenyum dalam hati. Harus sabar memang.

Yang lebih muda melangkah lebih dulu, diikuti Raffa yang kemudian berjalan bersisian dengannya.

"Ibu-ibu sama mbak-mbak yang ngurus perpus emang yang paling rajin."

"Kak Raffa mau ngurus perpus? Biar tambah rajin ntar."

"Nggak aja deh, Lan. Kalau gue, nanti jadi kepaksa rajinnya. Belum lagi kalau ada akreditasi, lomba, dan semacamnya. Bisa dari fajar sampai petang ntar."

"Tapi beliau-beliau emang patut diapresiasi sih kerjanya," sambung Raffa yang diangguki lawan bicaranya.

Keduanya lantas menyapa beberapa petugas yang memang sudah sangat hafal dengan dua remaja berprestasi itu. Langkah kaki si manis bergerak memisahkan diri, sebab buku yang mereka cari memang berbeda subjek.

***

Alan sudah sampai kelas sebelum bel masuk berbunyi. Kelas sudah dipenuhi dengan siswa-siswa kelasnya. Netranya pertamakali berpendar mencari keberadaan sang kakak. Anak itu lega begitu melihat Afka tengah berbincang dengan Angga di deretan meja paling tepi.

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang