Denara melangkah ragu menuju pintu utama rumah yang menyisakan banyak kenangan. Sungguh, dahulu ia pernah bersumpah tak akan menginjakkan kaki nya di rumah ini kembali. Namun, Tuhan punya cerita lain. Itulah sebabnya ia harus berhati-hati dengan ucapannya. Rasanya ia sama-sama pengecutnya. Dahulu, sosok itu berjanji akan selalu bersamanya, melindunginya, dan membahagiakannya. Namun, takdir Tuhan memang tidak ada yang tahu bukan?
"Masuklah. Apa memang akan terus berdiri di situ?" Tanya Praksa yang secara kebetulan membuka pintu. Niatnya keluar hanya untuk menghirup udara segar. Masuk kembali ke kamar itu benar-benar menekan jiwanya.
Denara tak menggubris lelaki di hadapannya. Langkah kakinya buru-buru masuk, melewati Praksa yang masih berdiri di tempat yang sama. "Di kamar Vindra," sahut Praksa sempat membuat langkah wanita itu terhenti sejenak.
Mendekati kamar yang dituju, langkah kaki itu tak setegas tadi. Denara mengatur napasnya, berusaha menguatkan diri sebab kembali mengurai kenangan lama memang kelemahannya. Putranya terbaring membelakangi pintu, membuatnya tak tahu apakah putranya itu benar-benar tertidur atau tidak.
"Sayang, kamu baru tidur?"
Hening.
"Aku baru mau tidur." Balas sang putra lirih, tanpa bergerak sedikit pun untuk merubah posisi.
"Ya udah, tidur aja. Nanti mama bangunin."
Denara memilih keluar, menutup pintu seperti sediakala. Seiring langkahnya, bola matanya bergerak mengamati tiap perubahan yang ia temui di rumah yang pernah ia tinggali dulu. Banyak yang berubah, tapi tidak dengan kamar yang ia masuki tadi. Kamar yang mungkin memang sengaja tak diubah sebab teramat berkenang.
"Mbak Dena?" Sapa seseorang yang baru saja tiba.
"Maaf saya kira Mbak ke sini sore nanti."
"Saya sengaja nggak kasih kabar."
"Kamar Mbak masih sama. Maaf, atau mau pakai kamar lain aja?" Tanya Risa yang sejujurnya ragu menanyakannya. Perempuan di hadapannya lebih dulu menempati rumah ini. Namun, ia cukup tahu jika menawarkan kamar lama juga bukan hal yang tepat.
"Saya nggak perlu kamar. Setelah ke makam, saya mau langsung pulang."
"Kenapa buru-buru sekali, Mbak?"
"Maksud saya, Mbak mau ditemani? Biar saya siap-siap dulu." Ralatnya kemudian.
"Tidak perlu."
"Alan ikut?"
Denera menggeleng, memberitahu jika sang putra mungkin saja tengah tertidur.
"Kalau Mbak pulang hari ini, mungkin ada baiknya diajak."
Denara mengangguk, setuju dengan apa yang diucapkan lawan bicaranya.
***
Di dekat gundukan tanah yang masih baru itu terlihat dua orang yang tengah diam, melantunkan doa pada Yang Maha Kuasa. Si anak sudah dapat mengelola emosinya dengan baik, berbeda dengan si ibu yang justru terisak dalam tangisnya. Sudah dikatakan, Denara tak menyangka sebelumnya. Realita di hadapannya benar-benar membuatnya tampak tak berdaya. Bagaimana pun, terlepas dari kejadian buruk itu, sosok almarhumah meninggalkan kenangan tersendiri untuknya.
Merasa cukup, Denara beralih ke makam di sampingnya diikuti sang putra. Alan tahu jika itu adalah tempat peristirahatan mendiang kakek. Risa memberitahukan hal itu saat pemakaman mendiang nenek selesai. Hingga selanjutnya, tibalah keduanya di dekat gundukan tanah yang menjadi tujuan terkahir mereka. Air mata Denara lebih deras dari sebelum-sebelumnya. Dahulu, ia seringkali pingsan di tempat itu ketika kenyataan yang terjadi sepenuhmya belum bisa ia terima. Sekarang tangisnya sudah lebih jauh wajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...