Part 39

473 49 0
                                    

Anak berwajah manis rupawan itu duduk dalam diam. Terhitung kurang lebih satu jam ia sampai rumah. Belasan menit sendiri ia habiskan untuk duduk di meja makan, menemani Bi Mina yang tengah berkutik dengan alat masaknya di dapur.

"Tehnya diminum, biar anget badannya."

Anak itu mengangguk, lantas meneguk secangkir teh yang sudah cukup lama ia diamkan.

"Kenapa ndak ikut mama Aden pergi?"

"Aku nunggu Kak Afka, Bi. Lagian aku malu kalau ikut ketemuan sama temen-temennya mama yang dosen. Kalau bawa anak kecil kan masih wajar, lah aku udah gede gini," ucapnya menyelipkan nada guyon.

Mina tersenyum mengangguk, sedikit lega mendengarnya. Ia hanya khawatir jika terbentang jarak antara majikan dengan putranya itu. Meskipun tak tahu secara rinci, Mina paham jika hubungan keduanya tak bisa dikatakan baik-baik saja. Namun, kini ia berharap, yakin, hal itu sudah tertangani.

"Memang mau ke sini jam berapa?"

Anak itu menggeleng. Hingga sesaat kemudian bunyi bel membuatnya bangun berdiri. "Biar aku aja, Bi," ucapnya saat Mina juga sudah akan bergerak melangkah. Wanita paruh baya itu tersenyum mengangguk, lantas kembali berkutat dengan dapur.

"Masuk, Kak."

Afka mengangguk, membuntuti langkah yang lebih muda.

"Capek ya? Tadi harusnya tidur dulu."

"Kalau soal tidur, udah kebanyakan. Kak Afka mau minum apa? Atau ambil sendiri aja, deh."

"Iya-iya. Emang kek gini, nih, tuan rumah yang paling memuliakan tamu."

Alan terkekeh pelan, menyoroti langkah kakaknya yang sudah memasang wajah kesal, entah memang sengaja dibuat-buat atau memang benar-benar kesal.

Ia pikir, Afka masih dalam mode marah. Namun, ternyata tidak sama sekali, atau memang lupa. Tapi kan, kakaknya itu bukan orang yang mudah sekali melupakan hal-hal seperti kemarin? Malah selalu saja diungkit-ungkit. Entahlah, yang jelas di satu sisi hal itu membuatnya tenang, tetapi di sisi lain juga membuatnya sedikit cemas.

"Denta tadi maksa ikut. Enak aja masih lemes kek gitu mau keluar."

"Kak Denta sakit?" Tanya akan itu benar-benar kaget.

Afka menghela napas dalam. "Iya, tapi tenang aja, udah mendingan kok. Om Dheastra juga stay jagain di rumah. Maaf ya gak bisa kasih tau, ntar kamu panik."

Jeda.

"Besok jenguk. Denta nitip buku catetannya. Gak lupa kan kalau Senin besok ujian?"

"Kak Denta gimana belajarnya?"

Afka mengangkat kedua bahunya, tak tahu."Balikin besok sekalian, atau difoto dulu. Beres kan?"

Alan mengangguk saja. Namun, pikiran akan kondisi Denta benar-benar tak mau lepas dari otaknya. Kalau bisa, sekarang juga ia ingin menjenguk. Tapi, sepertinya juga tidak baik jika dirinya justru menganggu istirahat sang kakak.

"Di rumah sendiri?"

"Tadi di dapur nggak ketemu Bibi ya?"

"Maksudnya, mama kamu kemana?"

"Baru ada perlu, makanya jangan buru-buru pulang."

"Tumben cerewet. Minta ditemenin lagi, biasanya seneng sendiri."

Hening. Afka hanya merasa ada hal yang menganjal. Namun, mengingat akhir-akhir ini anak itu sudah lebih nyambung diajak bercanda, Afka berpikir positif saja.

"Canda doang. Emang niatnya mau nginep kok."

"Emang aku bakal kasih izin?" Tanya si manis tertawa sendiri.

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang