Part 38

497 49 5
                                    

Adakah yang kangen cerita ini? Wkwk.

Minggu kemarin aku ujian blok dan setelahnya malah jadi terlena buat tidur (maklum aku belajarnya lembur terus, gegara tiap kuliah kutinggal tidur (please, ini jangan dicontoh)). Ah, aku emang pinter beralasan, wkwk.

Rasanya males banget mau ngetik, ditambah aku juga baru nyemangatin diri buat selesaiin baca buku yang ketunda terus mau dibaca. Tapi, rasanya kalau males emang harus dilawan dan nggak boleh dibiarin atau nantinya jadi bakal keterusan.

Jadi, mohon dimaafkan kalau part ini banyak kurangnya (•ω•) Tenang, kalian bebas tulis kritikan dan saran buat aku kok ;)

Oke, mian jadi ceruhatt, xixixi!

Kalau ada typo, bantu tandai ya! Fix, ini penuh dengan percakapan!!!

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Ruangan dengan nuansa hangat, tapi tidak dengan hawa yang tercipta di dalamnya. Denara diam, menunggu suara menyambut kedatangannya. Entahlah, perasaan dan emosinya yang sudah membaik kini mendadak abu.

"Saya sadar, membicarakan hal ini kurang pantas untuk sekarang. Tapi, saya juga tak bisa menjamin bisa membicarakannya secara langsung di lain hari. Sebab pasti akan muncul pernyataan jika sudah tidak ada hubungan di antara keluarga kita bukan?"

Denara tak menjawab. Apa yang dibicarakan Praksa memang benar. Namun, tidak sepenuhnya. Baginya, hubungan dengan orang-orang yang tak terlibat dengan masa lalunya akan terus berlanjut jika memang tak ada sesuatu yang harus dipermasalahkan.

Sosok pria paruh baya muncul bersama dua rekan lainnya, memperkenalkan diri, menyampaikan maksud kedatangan. Pria yang merupakan notaris tersebut dengan dengan jelas membacakan wasiat Ratna yang telah dibuat sebelum berpulang.

Denara bisa mendengar dengan jelas, pun mencerna semua yang didengar. Hanya saja, ah, rasa campur aduk itu benar-benar membuatnya tak nyaman.

"Sekian. Apa yang saya sampaikan adalah wasiat yang sah secara hukum dari almarhumah. Jika ada pertanyaan atau hal-hal yang belum dipahami sepenuhnya, bisa disampaikan."

"Dari saya sudah cukup," sahut Praksa bersuara. Sementara Denara masih juga tak merespons. Hingga akhirnya wanita itu mengangguk paham sebab merasa jika jawabannya ditunggu.

"Alan tidak mempunyai ketertarikan di dunia bisnis. Perusahaan, properti, rumah, dan sebagainya, putraku tidak menginginkannya." Kalimat itu keluar baru saat notaris dan rekannya pamit pergi.

"Itu tanda kasih Ibu untuknya. Kenapa kamu masih begitu keras menolaknya? Lagipula, Alan hanya belum tertarik, bukan berarti tidak." Praksa berucap dengan nada biasa, tetapi balasan tatapan tajam Denara menusuknya dengan tepat, seolah apa yang ia ucapkan mutlak keliru.

"Membayangkan putraku menjadi orang tamak sepertimu saja membuatku ngeri. Ambilah semua itu, sesuai tujuanmu dulu." Tukas Denara tak mau berbelit-belit.

Praksa mengela napas dalam. Sejujurnya, ia bukanlah tipe orang yang sabar. Namun, mengingat wanita yang ia hadapi bukanlah sosok yang mudah, maka ia hanya bisa mengalah.

"Bisakah.. Untuk sekarang dan seterusnya, kita lupakan masa lalu? Maksudku, bukankah Ibu dan Vindra akan lebih tenang jika sudah tak ada masalah dan keributan? Saya akui, mau dilihat dari sudut apapun saya memang salah. Saya berusaha untuk berubah, jadi tolong ubah sedikit pemikiranmu tentang saya."

Denara tersenyum kecut. Sosok di hadapannya baru saja meminta hal yang memang benar adanya, tetapi tak bisa ia terima. Semua tak mudah seperti apa yang diucapkan.

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang