Bagian Empat Belas

756 73 1
                                    

Alan kaget bukan main mendapati sang mama di depan pintu kamarnya. Namun, kecemasan yang membuatnya tak bisa tidur semalam hilang melihat mamanya sudah tampak lebih segar, tak pucat seperti tadi malam. Meski begitu, tetap saja anak itu jelas menyalahkan dirinya sendiri karena membuat Denara menangis.

"Mama mau bicara sebentar, bisa kamu duduk dulu?" Pelan sekali nada bicaranya. Alan yang sedari tadi memperhatikan ikut mengangguk dengan pelan. Anak itu memundurkan langkahnya dan duduk di tepian kasur. Begitupun dengan Denara yang kemudian melangkah masuk, tak lupa menutup pintu putih itu.

Tak ada suara meski satu menit telah terlewati. Denara hanya diam menatap putranya, sementara Alan sendiri yang harap-harap cemas menundukkan pandangannya.

"Alan... Dengerin mama baik-baik." Denara meraih kedua tangan putranya, membawanya ke pangkuannya, dan menggenggamnya dengan erat. Nada bicaranya memang sudah berubah sejak pertamakali bersuara. Terdengar jauh lebih bernada, tak datar seperti biasanya.

Jeda.

"Mama mau memulai semuanya dari awal. Mama mau kamu tetap tinggal di sini sama mama."

Denara menarik napasnya, menatap sang putra yang masih diam dengan pandangan yang sudah tampak memburam. Ada embun di manik mata putranya.

"Apapun yang kamu minta akan mama usahain. Kamu mau mama seperti mamanya yang lain kan? Mama juga mau seperti itu. Mama tau ini sulit, tapi percaya sama mama kalau mama memang sayang sama kamu." Air mata sudah mengalir di kedua pipi wanita itu. Membuat Alan ingin menghapusnya jika kedua tangannya sedang tidak tergenggam erat. Alan sangat percaya, air mata mama tak bisa membohonginya. 

"Mama mohon, lupain keinginan yang kamu ucapin semalam. Mama memang punya alasan kenapa ninggalin kamu, kenapa mama nolak kamu dulu, tapi mama belum bisa cerita. Mama minta maaf untuk semuanya. Tapi, percaya sama mama kalau mama nggak pernah beneran benci sama kamu. Mama nggak pernah nyesel lahirin kamu."

Denara melepaskan genggamannya, tangannya kini bergerak menghapus air mata putra manisnya. Mendapat perlakuan seperti itu, Alan justru semakin terisak. Ini pertamakali mama menyentuhnya dengan lembut.

"Mama juga sakit. Mama mohon, tolong jangan tanya apapun soal papa kamu, lupain, jangan buat mama sedih. Cuma ada mama sama kamu, selamanya akan begitu. Mama janji, meskipun kamu cuma punya mama, kamu bisa bahagia."

"Ma.., maaf."

"Kenapa minta maaf? Kamu nggak bisa penuhi permintaan mama?" Tanya Denara semakin melembut, tak ada kemarahan seperti biasanya.

"A-aku, bantuin aku lupain papa. Mama tau? Papa sering masuk ke mimpi aku. Alan bingung, Ma."

Denara mematung meski Anggra sudah menberitahukan hal itu sebelumnya. Tak heran jika putranya mengungkit kembali hal seperti ini. Denara paham jika berada di posisi putranya tentu akan dibuat kebingungan.

Denara mencoba tersenyum. Berusaha mengontrol emosinya dengan baik. Ia tak ingon dikendalikan emosinya seperti yang dulu-dulu.

"Itu karena kamu sering mikirin papa kamu dan akhirnya kebawa sampai mimpi."

Hening.

"Kenapa kamu sebegitu pengennya ketemu? Gimana kalau papa kamu bukan orang baik?"

"Ma.." Alan ingin mengelak karena bunda bilang papa orang yang sangat baik. Namun, suara mama memotong ucapannya.

"Mama cuma buat perandaian. Tapi, bahkan kamu belum pernah ketemu sama satupun keluarga papa kan?"

Ya, Alan justru tak pernah menyadarinya. Mungkin bedaya, keluarga mama sangat menyayanginya, tetapi bahkan untuk keluarga papa, Alan belum pernah bertemu dengan mereka.

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang