♡♡♡♡♡
"Hidungnya Aden kenapa merah? Aden habis nangis?" Tanya Mina membukakan pintu utama.
"Aku nggak papa, Bi."
"Ya sudah, ayo masuk dulu." Ajak Mina lantas menutup kembali pintu utama saat Alan sudah melangkah masuk terlebih dulu.
"Temennya kenapa ndak pernah diajak masuk? Ibu ndak akan marah kok. Bibi sudah pernah bilang."
Alan menggeleng, sebab ia sejujurnya juga belum bisa melakukannya. Namun, di sisi lain ia sangat berterima kasih karena bibi tahu apa yang ia khawatirkan. Setidaknya, jika Afka yang berpotensi besar memaksa masuk, Alan tak perlu cemas jika mama ada di rumah.
"Lain kali aja, Bi. Mama belum pulang ya?"
"Belum. Ibu pulangnya nanti malam, ada urusan lain. Makan dulu ya?"
"Aku udah makan. Alan langsung ke kamar ya," pamit Alan tersenyum samar.
Mina hanya bisa mengangguk balas tersenyum. Meskipun hati nuraninya meyakini jika anak manis yang begitu ia sayangi itu sedang tak baik-baik saja. Mina tentu saja khawatir. Namun, meminta anak itu untuk berbagi cerita di situasi yang seperti ini juga agaknya kurang baik.
Tiba saat Mina hendak berbalik pergi, suara isakan tangis lirih yang masih mampu tertangkap pendengarannya menginterupsi. Dengan pelan Mina melangkah mendekati pintu putih yang tertutup itu, lantas membukanya dengan amat pelan.
Tampak si manis yang tengah berbaring miring memunggunginya. Anak itu memeluk gulingnya dengan erat, masih dengan kaus kaki dan pakaian yang ia kenakan tadi.
"Aden kenapa?" Tanya Mina dengan suara lembut, mungusap pelan rambut remaja awal itu.
Alan belum mampu menjawab. Anak itu masih berusaha mengontrol tangisnya agar bisa mengucapkan barang sepatah kata. Sementara Mina akhirnya memposisikan diri, duduk di tepi kasur.
"Ndak papa kalau aden mau nangis dulu, bibi temani di sini," ucap Mina mengelus-elus punggung Alan dengan pelan.
Hingga perlahan, suara tangisan yang terdengar memudar. Namun, Alan masih saja tak berniat mengubah posisinya. Bukan maksudnya untuk tak mengacuhkan keberadaan bibi. Hanya saja, ia yakin jika kondisi wajahnya sudah sangat menyedihkan untuk dipandang. Alan hanya ingin orang lain melihat senyumannya, bukan wajah menyedihkannya.
"Bibi ambilin minum dulu ya."
Alan mengangguk, masih dengan respons non verbal. Merasa tak nyaman, anak itu mengubah posisinya menjadi duduk di sisi kasur.
"Bi, aku pengen lihat papa," ucap Alan melihat Mina yang kembali memasuki kamarnya membawa segelas air putih. Mina yang mendengarnya mendadak diam. Hatinya berdenyut nyeri mendengarnya.
"Fotonya aja juga nggak papa. Tapi kenapa enggak ada yang mau kasih tunjuk wajah papa ke aku," sambungnya dengan air mata yang sudah kembali mengaliri pipi mulusnya.
"Sabar ya, Den." Mina merengkuh anak itu ke dalam pelukannya.
"Bibi... Aku punya papa kan? Papa sayang sama aku kan?"
Tangis Mina pecah bersamaan dengan suara tangis Alan yang kembali terdengar meski hanya lirih.
"Pasti punya. Bibi yakin papa aden pasti sayang sekali sama aden."
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...