+628xxxxxxx99
Dena, saya sudah tahu di mana kamu tinggal. Saya mohon agar semua bisa dibicarakan baik-baik. Lusa, saya akan terbang ke sana untuk urusan pekerjaan. Saya hanya perlu berbicara dan melihat Alan sebentar. Jika pun nanti kamu tidak mengizinkan, saya akan membujuk Ibu agar bisa memaklumi semuanya. Saya benar-benar berharap kamu bersedia. Jika pun tidak, jangan salahkan saya jika saya atau keluarga saya yang lain bertindak nekat.Sungguh, Denara merasa muak membaca rentetan pesan dari nomor yang tanpa sengaja ia hapal. Nomor seseorang yang dengan beraninya menghubunginya lewat nomor pribadinya. Denara tak begitu terkejut, ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Bahkan, mungkin akan terjadi sejak lama jika saja keluarga itu memang mempunyai niatan sejak lama pula. Kekuasan dan reputasi keluarga itu sudah tak perlu dipertanyakan lagi.
Seperti yang sudah-sudah, Denara hanya membacanya saja, tak berniat membalas sama sekali. Itu sudah lebih baik daripada biasanya yang tanpa selesai dibaca, pesan semacam itu sudah ia hapus terlebih dulu.
Kali ini, Denara akan menuruti. Meskipun jujur ia begitu malas bertatap muka dengan orang-orang di masa lalunya. Denara bahkan tak berharap hal itu terjadi. Sikap mereka yang selama ini tak mau tahu justru yang Denara inginkan. Tak apa, sebab ia hanya perlu bertemu dan menegaskan agar mereka tak kembali mengusik hidupnya dan putranya. Tidak ada satu pintu pun bagi mereka untuk menemui putranya.
"Ma." Sang putra muncul dari pintu kamarnya yang setengah terbuka.
"Iya? Udah sarapan?"
Alan menggeleng, niatnya ia akan memanggil mama untuk sarapan. Sekarang ini memang selalu seperti itu. Tak seperti dulu yang, ah, mari kita lupakan.
"Sayang, maaf. Tapi mama buru-buru. Bilang sama bibi buat bikinin bekal buat kamu ya? Nanti bisa sarapan di mobil atau sekolah." Denara masih sibuk membereskan berkas-berkas di mejanya.
"Mama mau aku bantu?"
Denara menggeleng, menatap putranya seolah menyampaikan rasa bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Mama bisa kok. Cuma ada keperluan mendadak, jadi mama emang belum siap-siap."
Alan mengangguk. "Aku tunggu di bawah ya, Ma." Pamit putranya yang ia angguki dengan lembut.
***
"Hei, kenapa sendirian? Biasanya sama si tinggi yang nggak lebih ganteng dari aku." Afka yang bersuara. Remaja awal itu sengaja mendatangi perpustakaan, tepatnya menghampiri Alan yang tengah membaca buku di pojok baca.
"Itu Kak Raffa. Ngomongnya jangan gitu, Kak." Alan menoleh ke arah Afka sekilas. Fokus utamanya memang masih tertuju di buku bacaannya.
"Loh, orang ngomong fakta kok nggak boleh."
Oke, terserah Afka saja. Alan tak mau memperpanjang atau nanti ujung-ujungnya tidak akan selesai. Sesuka dan sebahagia kakaknya saja.
"Udah niat jalan ke sini malah dicuekin. Gegara buku pula."
Alan tertawa kecil, lantas menutup bukunya. Biar pun cukup berisik, Alan tentu akan memilih Afka mode seperti ini daripada mode diam yang meresahkan.
"Kakak tau aku di sini darimana?"
"Ngikutin kata hati." Sahut Afka membuat Alan menahan tawanya. Iya, memang tidak salah. Tapi entah kenapa lucu saja jika Afka yang mengucapkannya.
"Kak Denta udah berangkat?"
"Kan malah nanyain yang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka
General Fiction-END- Akalanka Dhefin Kavindra hanya mengharapkan kasih sayang sang mama. Jika tidak bisa, sedikit perhatian dari sang mama saja sudah sangat berharga untuknya. Namun, jika itu masih sangat sulit, setidaknya ia hanya ingin sang mama tak mengabaikan...