Bel tanda istirahat berdentang nyaring. Para murid berhamburan keluar kelas. Selayaknya lebah yang baru dikeluarkan dari sarangnya.
Ranesha merenggangkan kedua tangannya yang terasa kaku. Tubuhnya bersandar pada sandaran kursi. Ranesha melirik Riri yang masih asik dengan catatan miliknya.
"Ri, udah selesai?"
Riri melirik Ranesha sebentar, kemudian merapikan buku-bukunya. "Udah, nih. Mau ke kantin?"
Tanpa menjawab, Ranesha menarik lengan Riri untuk meninggalkan kelas. Dia sudah tidak tahan dengan rasa lapar di perutnya. Pagi tadi, dia hanya makan selembar roti dan meminum beberapa teguk susu.
Ranesha mendadak berhenti di ujung pintu kantin. Dahinya mengernyit. Biasanya, kantin tidak pernah sepenuh ini. Kalau pun ramai, pasti akan ada banyak meja kosong yang tersisa. Karena sepengetahuannya, murid-murid di Saint Teressa tidak pernah ingin repot-repot berdesakan di kantin. Mereka lebih memilih memesan melalui tab raksasa yang di sediakan di setiap ruangan.
Ranesha menggeleng pelan, tidak ingin terlalu ambil pusing. Prioritas utamanya sekarang adalah memberi asupan untuk lambungnya.
Ranesha kembali menarik lengan Riri, membawanya masuk lebih dalam. Menyusuri meja-meja di kantin. Hingga pilihannya jatuh pada meja bundar di tengah tengah kantin.
"Kita duduk di sini aja."
Riri mengangguk. Keduanya menuju meja. Namun belum sempat keduanya duduk secara sempurna, seorang siswa mendadak mengehentikan keduanya.
"T-tunggu! K-kalian tidak boleh duduk di sini."
"Kenapa?" Kali ini, bukan Ranesha yang menyahut, melainkan Riri. Sejujurnya, anak itu juga sama kelaparannya seperti Ranesha. Dan tingkah siswa di depannya ini membuat Riri agak jengkel. Sedikit.
Siswa dengan kacamata bulat tebal itu menunduk. Lantas menaikkan bingkai kaca matanya. "I-itu u-untuk siswa senior yang sedang melakukan pertukaran pelajar," jelasnya menarik napas panjang.
Ranesha mengangguk beberapa kali. Dia menatap sekeliling. Mereka tidak membantah ataupun mencela. Sebaliknya, mereka hanya menjadi penonton setia. Dan Ranesha tahu hukum tersirat dari tatapan itu. Pergi kalau enggak mau si cupu jadi babu di Saint Teressa.
"Oke. Kita cari tempat lain. Thanks infonya." Ranesha tersenyum manis sebelum menarik Riri kembali untuk mencari meja lain. Yang mana, tindakannya itu membuat siswa berkaca mata itu kelabakan. Dia tidak siap mendapat amukan dari siswa-siswa yang mengagumi murid baru itu.
Ranesha tidak pernah tahu, bahwa sejak pertama kali dia memasuki Saint Teressa, dia sudah memiliki penggemar.
Keduanya kembali melangkah, menyusuri lorong kursi. Hingga akhirnya, satu-satunya meja yang masih kosong ada di pojok paling ujung. Terpisah cukup jauh dari meja yang lain.
Ranesha mengetuk meja dengan nada seirama. Menunggu pesanan mereka tiba. Dua mangkuk Mie ayam dan dua gelas es jeruk pesanan mereka tiba setelah lima belas menit berlalu.
Aroma Mie ayam menguap, masuk ke dalam indra penciuman. Ranesha meraih mangkuk Mie miliknya. Menyuap kan mie tersebut ke dalam mulutnya. Namun, belum sempat sendok dan mie masuk secara sempurna. Mangkuk mie ayam, sendok, beserta isinya melayang ke udara dan jatuh berdentang dengan suara nyaring.
Ranesha mengerjap beberapa saat. Dia shock dengan apa yang baru saja terjadi beberapa detik yang lalu. Matanya menatap nanar mie ayam miliknya yang sudah berserakan dengan mangkuk yang sudah tidak berbentuk.
"Mie Ayam gua!" Teriaknya kesal.
"Itu akibatnya kalau lu nggak bisa diperingati."
Ranesha menoleh ke sumber suara. Matanya mendelik pada si pengganggu. Nggak bisa diperingati katanya? Heh! Jelas-jelas dia menurut ketika siswa Nerd tadi mencegah mereka. Kurang nurut apa lagi coba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Family (REVISI)
Ficción GeneralKeluarga itu terbentuk dari beberapa hal. Hubungan darah, pernikahan, atau takdir yang saling mengikat. Seperti yang dialami oleh Daisy, Jihan, Sora, Zain, Ranesha, dan Riri. Hubungan mereka terjalin dari takdir yang saling mengikat hubungan mereka...