Ruangan dengan nuansa putih tersebut, tampak hening. Di sisi ranjang pasien, beberapa tote bag tersusun rapi di atas meja bundar bersama beberapa keranjang buah. Pintu ruangan berderit. Dari balik pintu, Affandra muncul dengan setelan kemeja putih dipadu dengan celana bahan berwarna hitam. Jas hitamnya disampirkan di lengan kanannya.
Laki-laki itu tersenyum, menutup kembali pintu ruangan dengan pelan. "Selamat pagi."
Meski tidak ada sambutan, dia terus mendekati ranjang dengan senyuman yang begitu menawan. Affandra Duduk di kursi yang sudah tersedia. Menggenggam lengan perempuan yang begitu betah menutup rapat kedua kelopak matanya.
"Apakah tidurmu begitu nyaman sampai tertidur begitu lama?"
Bagi Affandra, seminggu adalah waktu yang sangat lama ketika dia menunggu dan berharap Daisy membuka mata. Dia berdiri, menyingsing lengan kemeja hingga sebatas siku. Dengan telaten, mengusap wajah serta tangannya dengan handuk basah. Menjadikan wajah perempuan itu jauh lebih segar dari sebelumnya. Setelah menyingkirkan mangkuk berisi handuk kecil serta air, dia kembali duduk di dekat ranjang. Menggenggam tangan itu kembali.
Bercerita banyak hal, Affandra tidak menghentikan bibirnya mengucapkan setiap kata meskipun semakin ke sini, kisah yang dia sebutkan semakin aneh dan agak konyol. Bahkan ketika sekertaris pribadinya masuk dan menyapa, dia hanya melirik sekilas seraya mengangguk.
"Sidang akan dibuka pukul tiga sore."
Mendengarnya, Affandra berhenti bercerita. "Sudah dibereskan semuanya?"
"Sudah, Pak. Semuanya berjalan sesuai instruksi anda. Kecuali ...," Laki-laki dengan kemeja navy itu menggaruk tengkuk salah tingkah. Bingung harus mengatakannya dari mana.
"Ada apa?"
"Polisi tidak lagi mau mencari perempuan itu, Pak. Mereka bilang ini adalah masalah keluarga yang tidak bisa mereka campuri."
Menarik napas dalam, dia mengibaskan tangan memerintahkan sekretarisnya untuk pergi. Affandra memejamkan mata, mengingat kembali perkataan Daisy. Pada akhirnya dia mengerti kenapa Daisy bersikeras memintanya mencabut tuntutan. Walau akhirnya Affandra kembali melapor secara diam-diam tanpa sepengetahuan perempuan itu.
"Urusan keluarga ya ...," Affandra terdiam sejenak. Menempelkan punggung tangan Daisy di pipinya. "Tenang saja, mereka pasti akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Aku berjanji untuk itu. Setiap rasa sakit mu akan mereka bayar dengan semestinya.”
Di depan ruang rawat, Jihan menarik kembali tangannya yang hendak memutar gagang pintu. Dia mendengar apa yang dikatakan Affandra. Semuanya, tanpa terkecuali. Menyangkal dari sudut mana pun, dia juga merasa bertanggung jawab atas apa yang menimpa Daisy. Yang seharusnya dalam posisi itu itu adalah dirinya, bukan Daisy.
Rasa sesak di dadanya begitu terasa menghimpit. Mengusap pipi yang sudah basah, dia menoleh pada suster yang hendak masuk.
"Sus, boleh tolong kasih ini sama yang jaga di dalam?"
"Tentu."
Jihan mengangguk sopan seraya mengucapkan terima kasih. Dirinya melenggang menuju toilet. Begitu tiba di toilet, Jihan membasuh wajahnya. Menghilangkan jejak air mata di sana. Perempuan itu nampak tertegun dengan penampilannya yang kacau. Mata sembab dengan bibir pucat, dan bola matanya yang memerah akibat terlalu sering menangis. Kacau.
Menarik napas dalam, menghembuskan nya secara perlahan. Berulang kali dia lakukan untuk menenangkan diri. Masalah yang datang tiada henti, berkelumit seperti benang kusut di antara mereka.
"Itu mudah. Jangan khawatir, dia sudah ada dalam genggamanku."
Jihan mematung. Berhenti melangkah. Perempuan itu menelan ludah, meraba jantungnya yang berdetak kencang. Dalam genggaman, siapa? Suara Liona, kenapa terdengar begitu mencurigakan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Family (REVISI)
Genel KurguKeluarga itu terbentuk dari beberapa hal. Hubungan darah, pernikahan, atau takdir yang saling mengikat. Seperti yang dialami oleh Daisy, Jihan, Sora, Zain, Ranesha, dan Riri. Hubungan mereka terjalin dari takdir yang saling mengikat hubungan mereka...