"Adik?" Daisy tiba-tiba tertawa. Sangat kontras dengan bola matanya yang sudah berkilat penuh emosi. "Adikku sudah mati. Dan kau yang membunuhnya!" pekiknya dengan napas memburu.
Kenangan sebelas tahun silam masih terekam jelas dalam ingatan. Hari di mana Daisy yang baru berusia sebelas tahun berjalan riang dengan pie susu ditangannya. Gadis cilik yang baru menginjak usia remaja itu bersenandung kecil sambil membayangkan Rain-adiknya yang baru berusia empat tahun menyukai apa yang dia bawa. Membayangkan binar penuh semangat dengan mata polos milik Rain berhasil melambungkan semangatnya kembali di tengah-tengah keluarga yang sedang berantakan.
Nahas, senyum di bibirnya luntur. Darah segar yang merembes di lantai tempat adiknya biasa bermain, membuat tubuhnya gemetar.
"R-Rain!" Lirihnya sesak.
Semuanya hancur. Satu-satunya alasan untuk bertahan, sedang tergeletak mengenaskan dengan darah merembes di gaun tosca miliknya. Tidak ada lagi senyum manis yang akan menyambut. Tidak ada lagi binar bahagia dan antusias milik Rain yang selalu memberinya semangat baru.
Rain-nya, adiknya, semangatnya, alasannya untuk bertahan, telah tiada.
Daisy menelan ludah. Menekan dadanya yang terasa sesak. Ingatan itu bagai kaset usang memenuhi pikiran. Membuat linangan air mata jatuh mengalir di pipi.
"Kau menuntut ku berperilaku baik pada mereka. Tapi, apa hal baik yang pernah kau lakukan sebagai seorang ayah?" Daisy menggeleng miris. Mengusap air matanya dengan kasar. "KAU BAHKAN TIDAK ADA SAAT RAIN SEDANG MEMBUTUHKAN FIGUR AYAH!" teriaknya penuh emosi.
"Dengar, tuan Wiguna yang terhormat. Dia selalu mengigau menyebut namamu setiap malam. Anak yang kau anggap sebagai aib dan kau campakkan begitu saja."
Oh, persetan dengan fakta bahwa laki-laki itu adalah orang tuanya. Daisy tidak perduli. Rasa sakit yang selama ini dia kubur, menguap seketika.
Ari masih bergeming, dengan bibir terkatup rapat. Kepalan tangannya menonjolkan urat-urat di leher. Laki-laki paruh baya itu mengeram emosi melihat putri pertamanya bicara begitu lantang.
"Di mana sopan santun mu, Ann. Aku masih Papamu, sialan!"
Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Daisy. Tubuhnya berbalik dan hampir jatuh terhuyung. Tamparan itu terasa perih dan panas. Sebagian besar wajahnya yang tertutupi rambut, membuat mereka tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Daisy.
"Papa?" Daisy tertawa pelan dengan nada mengejek.
Dia menarik napas, dan menghembuskan nya secara kasar. Jika saja bukan karena janjinya pada almarhumah ibunya dulu, Daisy akan dengan senang hati meracuni laki-laki yang menjadi ayahnya ini. Baginya, Ari adalah momok paling mengerikan dalam hidupnya.
Ari Wiguna. Laki-laki yang hanya mengutamakan harta dan nafsu semata. Berselingkuh dan menelantarkan anak dan istrinya. Faktanya, dia lah alasan utama kematian ibu dan adiknya.
"Jangan menyebutkan dirimu sebagai ayahku. Kau tidak pantas untuk itu," desisnya tajam.
"Annastasya!"
Teriakan marah penuh emosi Ari membuat semua orang tersentak. Wajah Ari merah padam. Emosi dalam dirinya kian meletup ketika tidak melihat raut ketakutan dari Daisy.
"Dengar!" Daisy tampak menarik napas kembali. "Ini yang terakhir kali. Urus keluarga anda, Tuan Wiguna. Saya tidak suka ada parasit yang mengganggu kehidupan saya." Setelah mengatakan itu, Daisy berbalik meninggalkan kediaman Wiguna. Melempar tatapan menusuk pada Liona.
Ari Wiguna berteriak marah. Menendang Guci setinggi pinggang dengan gerakan impulsif.
"Mas, tenangkan dirimu." Seorang wanita paruh baya berjalan mendekat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Family (REVISI)
General FictionKeluarga itu terbentuk dari beberapa hal. Hubungan darah, pernikahan, atau takdir yang saling mengikat. Seperti yang dialami oleh Daisy, Jihan, Sora, Zain, Ranesha, dan Riri. Hubungan mereka terjalin dari takdir yang saling mengikat hubungan mereka...