11. Perang dingin

18 5 4
                                    

"Daisy, kau perlu menjelaskan sesuatu padaku."

Daisy mendongak, menepis tangannya dari genggaman tangan Zach. "Tidak ada yang perlu ku jelaskan," ucapnya membuang muka.

Zach menggeleng tak percaya. Laki-laki itu memijit pangkal hidungnya yang terasa berdenyut. Pengakuan Dari Daisy sama sekali tidak memberinya kepuasan. Bagaimana pun, Zach tahu siapa sosok perempuan di hadapannya sekarang ini.

"Oh, ayolah! Aku tahu siapa dirimu. Siapa keluargamu dan-"

Daisy mengusap wajahnya kasar. Pikirannya masih terus melayang pada insiden di halaman belakang dua Minggu yang lalu. Dia tidak bisa melupakan sederet kalimat yang di ucapkan oleh Zach.

Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Daisy bersandar di kursi cafe, menatap dinding kaca yang sudah basah karena hujan. Dia sudah berada di sini lebih dari satu jam. Memikirkan setiap kalimat yang diucapkan Zach kala itu. Pun dengan makanan yang tidak disentuhnya sama sekali. Makanan itu seperti hanya sebuah formalitas dirinya berada di cafe ini.

Daisy mengangkat tangan sedikit, mengguk pelan pada pelayan restoran. Memanggil pelayan yang sedang berada di seberang meja yang dia tempati.

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya pesan coklat panasnya satu, Dessert tiramisunya satu. Dan juga, makanan ini tolong dibungkus saja."

"Baik, mohon ditunggu."

Pramusaji itu pamit undur diri setelah memanggil beberapa rekannya untuk membersihkan meja yang ditempati Daisy. Tidak lama, pesanan baru miliknya tiba. Segelas coklat panas dengan asap mengepul dan satu porsi dessert tiramisu. Tidak lupa satu buah paper bag berisi makan yang dia minta untuk dibungkus.

Daisy menghirup aroma coklat panas di hadapannya dalam-dalam. Di saat seperti ini, dia suka menghirup aroma coklat yang bisa membuat pikirannya sedikit tenang. Menyeruput sedikit coklat tersebut, Daisy memejamkan mata sejenak. Menikmati rasa coklat yang selalu menjadi pilihan utamanya ketika sedang stres. Dia, benar-benar bucin soal coklat.

"Kita bertemu lagi."

Daisy bergeming, tidak menggubris sama sekali. Tangannya sibuk mengaduk coklat panas miliknya.

"Kau masih suka minum coklat?"

Diam, tidak merespon sama sekali. Bahkan, untuk menatap wajahnya pun tidak dia lakukan. Daisy mengabaikannya, juga dengan suara kursi yang berderit di depannya. Daisy masih tetap tak acuh.

"Daisy! Aku sedang berbicara padamu," tekannya dengan nada jengkel.

"Aku sedang tidak bernafsu untuk berdebat denganmu, Zach," jawabnya seraya menghela napas pelan. Di tatapnya minuman yang sudah hampir dingin. Tiba-tiba, seleranya untuk menikmati minuman coklat itu sirna begitu saja.

Zach menggeleng tegas. "Tidak. Pembicaraan kita belum selesai. Kau har-"

"-Diam!" sentak perempuan itu tajam. Bola matanya menatap Zach sengit. "Berhenti mencampuri semua urusanku."

Daisy bangkit dari duduknya. Menyampirkan sling bag di bahu dan menenteng paper bag miliknya.

"Seharusnya, kau sadar dan bisa menempatkan dirimu sebagai seorang psikiater."

Zach bergeming. Menatap punggung Daisy yang sudah menghilang di balik pintu Cafe. Apa yang dikatakan oleh Daisy memang benar adanya. Seharusnya, dia bisa lebih menempatkan diri.

****

Hujan masih turun dengan deras mengguyur kota Jakarta, bersama Desau angin dingin yang mengirinya. Daisy mengusap lengannya yang terasa dingin. Karena kelakuannya nekat menerobos hujan. Sekarang dia berdiri di halte dengan keadaan basah kuyup. Untungnya dia sempat meminta kantong plastik berukuran besar untuk melindungi makanan yang dia bawa agar tidak terlalu terkena hujan.

Secret Family (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang