25. Kecewa

12 4 2
                                    

Semilir angin berhembus, menerpa kulit wajah yang tertutupi pasmina hitam. Tidak ada percakapan di antara mereka setelah warga kembali ke rumah masing-masing. semua yang terjadi terlalu mendadak, Jihan yang berada di seberang Daisy pun juga diam. Tangannya mengelus pelan nisan berukir nama Riri di sana. Di sebelah Jihan, Liona dengan tenang mengelus bahunya menguatkan.

Daisy diam dengan mata terpejam. Kepalanya bersandar pada nisan, dan bibirnya yang bergumam kecil dengan air mata yang masih terus menetes. Perasaan kehilangan itu, masih terasa menyayat di hati mereka. Siapa yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi? Kelalaian mereka? Atau, orang yang sudah membuat Riri berakhir merenggang nyawa.

Kelopak-kelopak bunga kembali di tabur, berikut dengan airnya. Keheningan di antara mereka berjalan hingga petang menyambut. Bahkan, ketika mereka semua masuk ke dalam rumah, tidak ada satu pun yang membuka percakapan.

Daisy menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Ingatannya terus berputar, mengingat semua kenangan yang mereka lalui bersama Riri dua tahun belakangan ini. Suara tawa, tingkah konyol, serta tatapan polosnya, membuat kedua mata itu kembali mengembun. Daisy menghela napas, mengerjap pelan demi menggagalkan air mata yang sudah ingin mengalir di pipi.

Sedih atas kehilangan orang yang disayang, itu wajar. Menangis, lah, jika itu bisa menghilangkan sedikit sesak di dada. Namun, jika saja dia bisa memilih, Daisy tidak ingin kembali merasakan kehilangan dengan cara yang sama. Semua masalah di dalam rumah ini seolah berpusat pada dirinya. Skandal kekasih Jihan, kematian Riri. Kemudian, entah apa lagi yang akan terjadi.

Daisy menghela napas, lagi. Detik berikutnya, perempuan itu memejamkan mata. Dia butuh energi untuk memberi perhitungan pada istri ke dua Ari Wiguna.

Di sisi lain, Zach mendengus melihat siapa yang baru saja masuk ke dalam ruangannya. Zach bisa menebak apa yang ingin dikatakan oleh wanita yang kini sedang melepas kacamata hitam dan masker di wajahnya.

"Zach, sembunyikan aku!"

Tepat.

Zach merotasi mata jengah.  Dia mengendik tak acuh, kembali pada rutinitas mencatat resep pasien. Dia tidak lagi ingin tahu urusan wanita di hadapannya. Bahkan, jika wanita itu harus menjadi gelandangan sekalipun.

"Zach, kau tidak mendengarkan, ku? Aku ini kakakmu!"

"Lalu?"

"Sebagai saudara, seharusnya kau membantuku ketika sedang susah."

Zach seketika mendongak. Bola  matanya menyipit penuh selidik. "Saudara?" Zach terkekeh pelan. Kepalanya menggeleng beberapa kali. "Aku bahkan malu menyebutmu sebagai saudara."

"Jaga bicaramu Zach!" sentak wanita paruh baya di hadapannya dengan napas memburu. Bola matanya berkilat emosi. Harga diri dan martabatnya seolah terinjak menghadapi betapa tidak sopan Zach terhadapnya.

Aliya—–wanita yang kini menggunakan setelah serba hitam dengan pasmina melingkar asal di kepala. Wajahnya ditutupi oleh kacamata dan masker dengan warna senada yang telah dilepas. Dalam semalam, statusnya sebagai nyonya besar Wiguna berubah menjadi buronan. Rahang Aliya mengeras ketika melihat Zach masih tidak peduli dengan keadaanya. Adik kandungnya sendiri justru ingin membuang dirinya.

"Apa karena anak sialan itu kau seperti ini?!"

"Kak!" Bentakan kasar itu membuat Aliya tersentak.

"Kenapa? Aku benar, kan? Karena anak itu kau semakin membantahku. Kakakmu sendiri."

Zach bangkit dari kursi. Merangsek maju mendekati Aliya yang tengah berdiri dengan sikap menantang. Emosinya tersulut, ketika Aliya menuduh sembarangan putri dari perempuan yang sudah begitu berjasa di hidupnya. Kedua tangannya mencengkram bahu Aliya dengan keras. Tatapannya begitu tajam menusuk.

Secret Family (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang