1. Rumah baru.

56 7 1
                                    

Sejak subuh tadi, Riri masih kekeh dengan keputusannya. Tidak ingin pindah rumah ke ibukota. Padahal, anak itu juga penasaran dengan keadaan Jakarta. Tetapi, ya begitu. Selalu ada ketakutan tersendiri ketika berada di lingkungan baru.

Riri mencebik kesal, memalingkan wajah dengan tangan bersedekap. Pipinya yang tembam semakin bulat ketika menggembung.

"Pokoknya Riri nggak mau pindah, titik."

"Rane juga," Imbuh Ranesha kemudian.

Ketiganya membuang napas secara bersamaan. Susah juga ya menghadapi remaja labil seperti mereka. Astaga ... Ingin sekali rasanya menenggelamkan keduanya di kolam ikan Pak RT.

"Ri-" Daisy mengusap wajahnya gusar.

"-Nggak, pokoknya nggak mau pindah," sergahnya cepat. Riri menggeleng keras, menolak usulan pindah rumah.

"Dengerin Kakak ngomong dulu," kali ini Jihan menyahut. Sudah mulai bosan dengan sifat keras kepala adiknya yang kadang tidak sesuai dengan keadaan.

Kembali kedua pipi itu menggembung, menunjukkan si empunya pipi sedang dalam mode marah. Tapi bukannya seram justru menggemaskan.

"Jangan menggembung in pipi, kalau enggak mau Gue cubit sampai lepas."

Riri melotot tak terima mendengar ucapan kakak ke tiganya. Cubit sampai lepas? Heh! Memangnya kue cubit.

"Pokoknya-"

"-ya udah kalau nggak mau sih nggak papa, toh kalian yang rugi," sela Daisy menatap kedua bungsu itu dengan tenang. Tidak ada raut frustrasi seperti beberapa waktu lalu. Dan itu sukses membuat Riri maupun Ranesha bingung.

"Nggak pindah kok rugi?" ucap Ranesha mengernyit heran.

"Mana ada hubungannya, kalian mau ngibul ya?" imbuh Riri kesal.

Ketiganya mengendik tak acuh. Mengabaikan protes pelototan dari keduanya. Jawaban itu sama sekali tidak terdengar memuaskan ditelinga. Bukannya puas malah semakin penasaran. Ugh.

"Kasi tau ih ... kenapa harus ikut pindah." Riri mengguncang lengan kedua kakaknya. Sekarang anak itu sudah berpindah posisi duduk diantara Daisy dan Jihan. Sementara Ranesha duduk diantara Jihan dan Sora.

"Itu rahasia, kalau mau tau. Ya ikut pindah." Daisy bangkit dari duduknya, menepuk kepala Riri pelan sebelum berucap, "kalian semua siap-siap. Besok kita berangkat."

Baik Jihan mau pun Sora hanya mengangguk patuh, kedua gadis itu ikut beranjak dari tempat duduknya. Mengemas barang-barang pribadi yang akan dipindahkan besok.

"Ih ... Kok kita ditinggal sih! Aaa ... kalian jahat, hiks." Riri tersedu mendramatisir keadaan. Padahal, air mata setetes pun tidak ada yang jatuh. Lebay.

Ranesha yang melihatnya hanya menggaruk tengkuknya. Bingung menghadapi suasana melankolis yang teramat aneh.

"Lo nangis, Ri?"

"Nggak, Gue lagi bertapa tujuh tahun, tujuh bulan, tujuh Minggu, tujuh hari, tujuh jam, tujuh menit, tujuh detik." decak Riri menatap Ranesha sebal.

"Kok, Lo nggak tua sih?" tanya Ranesha kelewat polos.

Tolong ingatkan Riri untuk tetap stay cool! Jangan sampai dia khilaf dan menendang kakak tercintanya ini ke kolam ikan Pak RT.

"Nggak tau ah, bodo amat," sungutnya mencabik-cabik dan menggigit bantal sofa dengan gemas. Seandainya bantal itu coklat pasti akan lebih nikmat dan berfaedah.

***

Sesi merajuk ala Riri masih berlanjut. Diikuti oleh Ranesha sebagai pendukung. Katanya sih, sebagai bentuk solidaritas seorang Kakak. Duh, mana ada sih model solidaritas kayak gini. Belum lagi tingkah mereka yang bikin stres, gemas, sekaligus geleng geleng kepala.

Secret Family (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang