17. Pangeran tampan.

13 5 1
                                    

HAPPY READING!!

🌼🌼🌼

Hari itu, pertama kalinya Riri dan Ranesha berpisah ketika pulang sekolah. Riri tidak tahu, apakah Ranesha benar-benar sengaja meninggalkannya atau lupa memberi kabar ketika dia di toilet.

Riri menunduk, menatap jalanan tak berselera. "Kalau ada Ranesha, kan nggak ada yang berani ganggu," keluhnya mengusap sudut mata yang berair.

Perutnya terasa sakit dan perih. Bunyi cacing yang sedang demo di perut, bergemuruh hebat. Riri menarik napas kesal, menepuk perutnya secara berkala. "Sabar, ya. Nanti kalau udah di rumah kita kenyang-kenyang–in makan," monolognya pelan. 

Riri berjalan gontai menyusuri jalanan aspal. Hari sudah mulai sore, namun dia tidak menemukan Ranesha. Perempuan itu seperti hilang ditelan bumi. Dalam keadaan lelah, riri menjatuhkan tubuhnya di atas kursi taman. Dia kembali menghela napas, lelah karena seharian mencari Ranesha.

"Apa pulang duluan aja ya? Udah sore. Mungkin Rane lagi ada perlu sama temennya."

Riri berdiri, menepuk bokongnya pelan  untuk menghilangkan debu. Riri menepuk kepalanya pelan, rasa sakit itu tiba-tiba menghantam. Dia terkekeh kesal. "Bisa sabar nggak sih, jangan sekarang dong," ucapnya kesal.

Semakin dia berusaha mengenyahkan, semakin menjadi rasa sakitnya. Dunianya seolah berputar, mencengkram kesadaran. Hingga akhirnya, kegelapan menyelimuti pandangannya. Riri tidak ingat apa pun, kecuali seorang pangeran tampan yang dia lihat sebelum kesadarannya benar-benar hilang.

Hembusan asap rokok mengudara, Louise menarik napas kasar ketika mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Hari di mana dengan konyolnya dia mengikuti Riri seharian penuh. Bahkan, dengan konyolnya dia memboyong perempuan itu ke klinik terdekat dan menungguinya hingga siauman. "Arghhh ... sial! Ya kali gua naksir sama tu bocah," dengusnya mengusap wajah gusar.

Bagaimana pun, Riri tidak termasuk dari salah satu tipe perempuan yang dia suka. Perempuan itu terlalu kekanakan menurut Louise. Dibanding dengan dirinya yang memiliki pekerjaan beresiko, mereka bukanlah pasangan yang cocok. Tapi, entah mengapa dia tidak pernah bisa mengalihkan pandangan, ketika Riri berada dalam lingkup penglihatannya. Antensinya selalu terpaku sepenuhnya pada perempuan itu.

"Manis." Louise menepuk bibir yang berujar seenaknya, ketika bayangan Riri melintas di pikiran. Dia keceplosan, astaga.

"Tuan." Laki-laki paruh baya dengan kemeja putih itu mendekati Louise, dia membungkuk hormat. "Di depan ada tamu."

Louise mengangguk, ketika pria paruh baya yang berprofesi sebagai kepala pelayan itu, membisikkan sesuatu di telinganya. Menghembuskan asap rokok terakhir, Louise menekan bara rokok di atas asbak. Laki-laki itu bangkit berdiri dari posisi santai. Meninggalkan taman.

Louise mendaratkan tubuhnya di single sofa setelah mempersilakan tamunya untuk duduk. "Jauh-jauh datang ke sini, sebagai orang sibuk tentu bukan sekadar basa-basi, 'kan?"

Sang tamu mendengus dengan mata menyipit. Bibirnya tersungging sinis. "Jauhi mereka!"

Louise mengorek-ngorek telinga dengan dahi mengkerut. Mungkin dia salah dengar. "Apa? Coba katakan lagi!"

"Jauhi mereka!"

"Hah? Hahaha." tawanya mengejek. "Dasar gila!" Ketus Louise menatap lawan bicaranya sengit.

"Mereka tidak ada hubungannya dengan pertikaian ini, Louise! Kau dan bos mu sudah terlalu jauh melibatkan mereka."

"Kalau begitu, katakan pada bosku." Louise bangkit. "Pulang sana! Jangan membuang waktuku yang berharga, kakakku," ucapnya berlalu pergi.

Secret Family (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang