Daisy tidak main-main dengan apa yang dia ucapkan. Tuntutan yang diajukan Affandra untuk menangkap Aliya benar-benar dicabut begitu saja. Laki-laki itu tidak mengerti dengan jalan pikiran Daisy. Jika polisi tidak bisa perempuan itu percaya, lalu siapa yang akan dia mintai tolong untuk menangkap Aliya?
"Jadi, apa rencana mu selanjutnya?"
Daisy melirik Affandra melalui ekor mata. "Rencana ku? Simpel saja," ucapnya seraya meletakkan gelas es kopi ke atas meja. "Kelompok Mafia." Lanjutnya kemudian.
"Apa?!" Affandra melotot dengan tangan berkacak pinggang. "Jangan bercanda!"
Daisy menggeleng. "Aku tidak bercanda. Hanya mereka yang mampu mengurus Aliya."
Affandra menggeleng tak setuju. Bagaimana pun, berurusan dengan sekelompok mafia bukanlah hal sepele. Ada begitu banyak resiko ketika berurusan dengan kelompok berdarah dingin tersebut. Terlebih lagi, soal bayaran. Entah apa yang akan mereka minta sebagai imbalan. Uang, atau justru nyawa. Membayangkan Daisy menukar nyawa perempuan itu, dengan rencana yang sudah dia susun. Membuat Affandra menelan ludah seraya menggeleng beberapa kali. Tidak, tidak. Bagaimana pun caranya dia harus meyakinkan Daisy untuk tidak memakai jasa para makhluk berdarah dingin tersebut.
"Daisy, aku tahu kau tidak lagi bisa percaya polisi. Tapi, mafia? Astaga, mereka terlalu berbahaya."
"Justru itu, bagus."
"Apa?"
Daisy menggeleng. "Sudahlah, keputusanku tetap sama. Aku harus pergi sekarang. Ada janji temu dengan seseorang."
Affandra terdiam. Menatap punggung Daisy yang kian menjauh dan menghilang di balik pintu cafe. Menghela napas, Affandra menyandarkan punggungnya pada kursi. Penat dirasakannya. Meski begitu pun, dia harus tetap mengawasi dan menjaga perempuan itu.
Berpikir melalui sudut mana pun, keputusan yang diambil Daisy memang memiliki risiko yang amat besar. Terutama bagi nyawanya sendiri. Affandra benar, dan wajar jika dia melarang keras keputusannya. Namun, dibandingkan menggunakan polisi, Daisy masih meyakini bahwa mereka jauh lebih bisa diandalkan.
"Tadinya, aku benar-benar ingin membatalkannya."
Daisy menarik tipis sudut bibirnya. Menghempaskan bobot tubuh di kursi restoran dengan nuansa klasik tersebut. Di hadapannya laki-laki keturunan Italia—korea bersedekap dengan mimik angkuh di dampingi bawahannya yang setia berdiri di belakang sisi kanan laki-laki itu.
"Saya minta maaf atas waktu anda yang terbuang, Tuan Chalisto."
Chalisto mengangguk beberapa kali. Jika bukan karena dia pun memiliki tujuan sendiri, rasanya enggan menunggu kedatangan perempuan di depannya ini. Bagaimana pun, kerja sama mereka juga akan menguntungkan untuknya.
"Anda tahu, kan, bahwa organisasi kami memiliki peraturan sendiri. Ketika anda menyetujui, maka tidak ada jalan keluar untuk anda kembali. Jadi, Nona Daisy ...,"
"Apa bayaran yang kalian inginkan?" Sela Daisy tenang. Jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia mati-matian untuk tidak gelisah dan ketakutan. Membayangkan apa yang diminta Chalisto sebagai imbalan.
"Adikmu."
Daisy tersentak. Menatap Chalisto dengan kening mengkerut. Daisy menelan ludah susah payah. "M-maksud anda?"
"Ranesha Indriany. Aku ingin dia menjadi istriku sebagai bayaran."
****
Ketukan suara pantofel bergema di lorong. Di setiap persimpangan, dua bodyguard merunduk hormat. Memberi salam pada tuan muda mereka, Chalisto Moretz. Selepas pertemuan dengan Daisy beberapa menit yang lalu, dua laki-laki tersebut menyambangi markas besar keluarga Moretz.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Family (REVISI)
Художественная прозаKeluarga itu terbentuk dari beberapa hal. Hubungan darah, pernikahan, atau takdir yang saling mengikat. Seperti yang dialami oleh Daisy, Jihan, Sora, Zain, Ranesha, dan Riri. Hubungan mereka terjalin dari takdir yang saling mengikat hubungan mereka...