31. Damai

9 4 20
                                    

Waktu menunjukkan pukul lima sore. Ranesha dan Zen yang baru tiba di rumah sakit, menghempaskan tubuh mereka di sofa sudut ruangan. Setelah sibuk menjalani rutinitas sehari-hari, membuat rasa kantuk menguasai keduanya. Baik Ranesha mau pun Zen, keduanya sama-sama memejamkan mata. Tidur sejenak sebelum berganti shift untuk berjaga.

Di sisi ranjang pasien, Jihan tercenung di tempatnya. Jemarinya masih terus menggenggam tangan Daisy. Sejak dia mengetahui kebenaran hari itu, Jihan tidak pernah meninggalkan kamar ini lebih jauh dari pada toilet yang berada di dalam kamar ini. Makan dan pakaiannya pun, disediakan oleh Rashid yang memang diutus oleh Affandra.

Perempuan itu menghela napas, memijat pangkal hidung yang terasa berdenyut. Ingatannya berputar pada kejadian beberapa jam yang lalu. Tentang Liona yang mengatakan siapa dirinya, dan apa tujuan perempuan itu.

Dia tidak pernah menyangka, bahwa Liona adalah kakak kandung  mantan kekasihnya dulu. Airlangga—laki-laki yang biasa disebut sebagai, Rangga oleh orang sekitarnya. Dia orang yang dua tahun lalu hampir membuat hidup dan masa depannya hancur. Sampai kapan pun, Jihan tidak akan pernah melupakan apa yang pernah laki-laki itu perbuat padanya.
Kejahatannya, sudah terlalu sukar untuk dimaafkan.

Dia menghela napas, lagi. Menopang dagu dengan pikiran berkelana. Secara tiba-tiba, jemari Daisy dalam genggamannya bergerak.

"Kak? Kak lu bisa denger gua? Ya Tuhan." Jihan berdiri. Menekan tombol alarm di atas kepala ranjang.

Begitu Dokter muncul, mereka keluar ruang. Menunggu dengan harap cemas. Berharap ini adalah pertanda baik.

Di sisi lain, mobil yang ditumpangi Affandra dan Chalisto memasuki area rumah sakit. Ketika masih berada di ruang bawah tanah, Affandra sudah mengkonfirmasi kepada tangan kanannya untuk kembali ke rumah sakit dan memantau setiap perkembangan yang ada. 

"Bagaimana keadaannya?"

Jihan menggeleng, membuat Affandra menoleh ke arah Zen.

"Dokter lagi meriksa."

Dia menghela napas, menjatuhkan tubuhnya di kursi. Menunggu hasil pemeriksaan dengan harap cemas.

Sementara itu, Ranesha diam-diam meninggalkan mereka, terutama Chalisto. Dengan segala hal yang menimpa mereka, dia belum siap untuk menatap wajah laki-laki itu secara langsung. Pun dengan kenyataan bahwa perilaku manisnya selama ini adalah bagian dari rencana.

Ketika dia memutuskan untuk jatuh, dia tahu bahwa akan ada jegalan yang sangat tinggi untuknya, dan rasa sakit yang teramat pun dirasakannya.

"Sha?"

Dia tersentak, membuka mata dengan ekspresi terkejut yang tidak bisa dia kendalikan. Ketika ingin beranjak, Chalisto buru-buru mencegah.

"Kita perlu bicara."

Ranesha menggeleng, mencoba melepaskan genggaman Chalisto. "Please, Chal. Nggak sekarang. Gua masih butuh waktu untuk mencerna semuanya."

Chalisto tidak menggubris. Dengan seluruh kekuatannya, dia menuntun Ranesha untuk duduk kembali. Dia menghela napas, berjongkok di hadapan Ranesha. Untuk sesaat, tatapan keduanya saling mengunci. Melibatkan gejolak pikiran yang terus berputar dalam kepala masing-masing. Perasaan yang mereka simpan rapat, sepertinya  tidak bisa mereka sembunyikan.

"I love you."

Chalisto tersenyum, menyingkirkan anak rambut yang menghalangi sinar di wajah perempuan di depannya. Setelah mengumpulkan begitu banyak keberanian, tiga kata itu akhirnya meluncur dari bibirnya.

"Seharusnya, lu nggak jatuh cinta sama gua, 'kan?"

Begitu kalimat itu meluncur dari bibir Ranesha, Chalisto tidak dapat mengenyahkan rasa nyeri yang tiba-tiba menusuk relung hatinya yang terdalam.

Secret Family (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang