*****
Aksa terpogoh-pogoh menghampiri Saka di kelasnya. Matanya memerah, entah menangis atau marah.
"Anjing lo," umpatnya. Ia langsung melayangkan bogem ke arah Saka mentah di depan inti Galaxy.
Saka yang mendapat serangan tiba-tiba, tentu saja tidak bisa mengelak sedikitpun. Ia harus merelakan rahangnya kena pukul hingga terasa kebas. Mentang-mentang sudah sehat dan mendapatkan donor ginjal, kekuatan Aksa melebihi Saka.
"Santai, Pak Ketos." Kai melerai Aksa dan Saka. Alangkah baiknya lebih dulu mencegah sebelum Saka ikut terpancing emosi.
"Apa sih?" sentak Saka. Cowok itu menatap kesal kembarannya.
"Lo bikin Mama sedih tau gak?" Kening Saka mengerut.
"Lo gak salah ngomong? Mama sedih? Gara-gara gue?" cerca Saka. Inti Galaxy tidak bisa ikut campur urusan Aksa dan Saka. Saudara kembar itu memancarkan aura mematikan seperti ingin saling membunuh.
"Lo donorin ginjal lo buat gue?"
Mendengar pertanyaan Aksa, inti Galaxy terkejut terutama Saka. Darimana Aksa mengetahui hal yang tidak ia lakukan?
Saka tertawa renyah. "Gue juga mau hidup. Gue gak sebaik itu," tampilnya.
"Ta—tapi obat di kamar lo?" Aksa mengingat ada beberapa pil obat di kamar Saka saat ia ingin meminjam pulpen. Cowok itu mengeluarkan satu botol dengan label warna kuning ke atas meja belajar Saka.
"Lancang lo masuk kamar gue," desis Saka. Ia mencengkram kerah seragam Aksa, lalu menghempaskannya. "Lagian itu vitamin sih, cek sana ke apotek atau kerumah sakit sekalian," tambahnya.
Abian dan Arka memperhatikan tulisan yang ada di label botol yang Aksa bawa. "Ini mah vitamin C I*P. Gue juga punya, rasanya asem."
Daffa merampas botol itu. "Mau gue 3. Asem banget kayak hidup gue tanpa ayang."
"Jadi gue salah paham?" tanya Aksa polos. Inti Galaxy menahan amarah melihat tingkah bodoh Aksa.
"Nggak, Bahrudin. Gue yang salah paham," sahut Kai.
Mereka gemas melihat Aksa dan Saka yang tidak pernah akur. Ingatkan mereka bahwa kedua cowok itu kembar identik.
"Terus siapa yang donorin?"
"Itu donor dari orang yang meninggal kena serangan jantung. Bikin ribet aja. Hush hush ..," usir Saka. Aksa memutuskan untuk pergi dari kelas Saka.
"Kembar doang gak mau ngedonorin ginjal buat kembarannya," ucap Daffa.
"Kalo gue donorin ginjal buat Aksa, lo donorin ginjal buat gue ya," balas Saka dengan senyum menyeramkan.
"Ginjal sapi mau?" tanya Daffa.
"Ginjal tikus aja, brother," sahut Farraz.
"Lo gak takut Aluna pergi?" celetuk Abian tiba-tiba. Arka mengerutkan keningnya begitupula dengan yang lain.
"Maksud lo?"
"Kucing juga tau kapan dia mau mati," ujarnya tanpa menjawab pertanyaan Arka.
"Lo aja yang mati sana, setan. Dasar manusia gak nyambung," sungut Arka.
Arka mendengus, enggan memperpanjang pembicaraan dengan Abian. Jika berbicara dengan Abian, otaknya harus bekerja 3 kali lebih cepat tanggap.
Masalah dirinya dan Aluna belum selesai, gadis itu tengah pergi bersama Auris untuk sekedar jalan-jalan. Bahkan sekarang Aluna membolos sekolah, sikap Aluna berubah sejak berbicara dengan murid baru di kelasnya. Saat Leo mengajak Aluna berbicara, Arka melihatnya. Namun, ia tidak ingin menanyakan hal tersebut, gengsinya terlalu tinggi.
"Li?" panggil Farraz pada Lia, kekasihnya.
"Kenapa?" Dari kejauhan 2 meter Lia menyahut. Gadis itu hendak pergi ke tempat duduknya.
"Nanti malam aku jemput, ya," ujar Farraz. Lia mengangguk sebagai jawaban.
"Satu titik dua koma
Lia cantik, sayang beda agama sama Bang Farraz," seru Daffa meledek Lia dan Farraz.Bagaimana bisa Farraz yang taat beribadah bisa berpacaran dengan Lia yang berbeda agama dengannya?
"Anjeng, gelud sini!" sentak Farraz.
*****
"Luna, lo cantik banget pake ini. Gue beli."
Luna di buat pusing oleh keaktifan Auris. Sejak 2 jam yang lalu ia telah mengelilingi mall bersama Auris. Kakak Arka itu mengajaknya untuk berbelanja, tentu saja Aluna tidak bisa menolak. Lagi pula ia juga ingin menenangkan pikirannya.
"Kak, kita beli eskrim, yuk," ajak Aluna. Ia sudah bosan dengan Auris yang terus memilih baju. Di tangan mereka berdua sudah banyak paper bag yang sebagian besar adalah baju.
Iris mengalihkan pandangannya menatap Aluna. Perempuan berusia 23 tahun itu mengangguk, menarik tangan Aluna.
"Debay mau eskrim? Kita beli yang jumbo."
Dan Auris benar-benar membelikan Aluna eskrim yang berukuran jumbo. Aluna saja sampai mengangga melihat ukuran eskrim itu.
"Gimana hubungan kamu sama Arka?" tanya Auris tiba-tiba membuat Aluna tersentak.
"Eh, gak— gimana-gimana kok, Kak. Alhamdulillah baik," jawab Aluna seadanya.
"Sorry, ya, kayaknya lagi gak baik-baik aja." Auris merasa tidak enak. Pertanyaan membuat raut wajah Aluna menjadi murung.
"Kakak kapan balik ke London?" Aluna mengalihkan pembicaraannya.
"Mungkin 2 Minggu lagi, Na," balas Auris.
"Kayaknya kita harus sering-sering main, Kak," ujarnya di iring tawa renyah. Mereka berdua tertawa.
*****
Cowok dengan tinggi semampai itu bersandar di mobilnya berwarna hitam. Memperhatikan rumah di hadapannya.
"Gue rasa dia," celetuk salah satu cowok. Mereka berjumlah 3 orang.
"Kita gak boleh gegabah, ikuti pergerakannya," sahut cowok memakai jaket denim.
Mereka memang tengah mengamati rumah Arka dengan ekspresi datar. Penghuni rumah sedang tidak ada di rumah. Jadi, mereka bisa bebas.
"Awas aja lo berkhianat. Lo di pihak kita sekarang. Atau lo mau dapet pelajaran yang lebih?"
"Berkhianat mati," ujarnya. Cowok yang di sudutkan mengangguk patuh. Sudah cukup ia melakukan kesalahan, ia tidak ingin melakukan kesalahan lagi.
*****
Pendek-pendek aja, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARKALUNA [REPUBLISH]
Teen FictionARKALUNA NEW VERSION! Terikat perjodohan yang di lakukan oleh orang tuanya membuat hidup Aluna Queensha Galexia jauh lebih rumit dari sebelumnya. Ia pikir perjodohan hanya terjadi di dunia fiksi saja, namun nyatanya Ia mengalami hal tersebut. Di jod...