PART 4

192 35 219
                                    


“Terlalu ingin melupakan membuatmu tidak bisa melupakan masa lalu. Jangan terlalu dipikirkan karena itu hanya membuatmu makin mengingatnya.”

~~~~~ Aida Haifani ~~~~~

 


Sosok perempuan berjilbab pashmina plisket berwarna hitam, memakai kacamata berbentuk persegi dengan bingkai berwarna hitam sedang menelusuri majalah dinding kampus yang dibuat oleh organisasi BEM. Ia melihat foto seseorang sedang berdiri di mimbar. Wibawa pemuda di dalam foto tersebut masih ia kagumi sejak dahulu. Ia melengkungkan bibirnya dengan sempurna.

Kamu masih tampan dan tegas seperti dulu.

Danish, aku tak menyangka kita kembali dalam satu lingkungan. Walau setelah dibebaskan Nadhira dari penjara, nggak membuat persahabatan kita kembali utuh. Apalagi kita .... aku, Nadhira, dan Naisya memiliki jarak walau mereka tidak memperlihatkan, aku tahu masih ada guratan kecewa di hati Nadhira.

Setelahnya, kamu juga menghindariku. Kamu memilih kuliah di sini dan akhirnya aku memutuskan kuliah di Australia tempat ayah dan ibuku tinggal. Akhirnya aku kembali ke Indonesia, aku sengaja datang kembali untuk bertemu denganmu. Aku harap kita bisa memperbaiki apa yang dulu telah rusak.

Usai puas menatap majalah dinding yang dibuat organisasi BEM, Aida bergegas meninggalkan tempat, ia melangkahkan kakinya menuju kelas semester lima.

*****


“Proposal sudah diacc, dana pun sudah diberikan. Jadi, acara di hari Minggu bisa kita laksanakan,” ujar sekretaris BEM universitas kepada Danish. Danish mengangguk.

“Oke kalau begitu, besok kita beli bahan makanan dan kerajinan. Hari Sabtu jam sembilan pagi seluruh anggota BEM universitas dan anggota UKM kewirausahaan harus kumpul di ruangan. Tidak ada kata terlambat apa pun alasannya. Yang terlambat dihukum. Paham, semua?” tanya Danish.

“Paham!” seru penghuni di dalam ruangan.

“Oke kalau begitu rapat hari ini selesai, silakan masuk ke perkuliahan masing-masing,” titah Danish.

Usai membubarkan rapat, semua meninggalkan ruangan BEM. Danish bergegas keluar dari ruangan karena ada kelas yang harus ia ikuti.

Karena terburu-buru, Danish akhirnya menubruk bahu seseorang. Karena tidak seimbang, kedua insan manusia itu terjatuh dengan dirinya terjatuh di lantai dan sosok perempuan memakai kacamata persegi jatuh di depan dirinya. Aida merasakan degupan jantung begitu kencang. Rasanya lebih mendebarkan dibandingkan dahulu berdekatan saat masih SMA.

Danish terpaku dengan manik cokelat terang itu. Ia tak mengerti kenapa gadis itu berkeliaran di kampus tempatnya. Setahunya, informasi terakhir perempuan itu sudah berkuliah di Australia. Danish membuang wajahnya, menghindari tatapan dengan Aida.

“Minggir!” pintanya dengan ketus. Aida menunduk, ia beranjak dari posisinya. Danish pun berdiri, kemudian menatap wajah Aida.

“Maaf saya yang tidak hati-hati. Permisi!” Baru saja selangkah ia pergi, Aida menahan pergelangan tangannya yang tertutup oleh almamater. Aida menatap manik abu-abu terang itu dengan sendu.

“Kamu tidak kenal aku?” tanyanya dengan lirih.

Danish memutar bola matanya dengan malas. “Jangan sentuh saya. Lepaskan!” perintahnya dengan ketus. Aida malah makin mencengkeram tangannya. Ia menggeleng.

“Jawab dulu kamu kenal sama aku nggak?” tanya Aida memaksa Danish untuk menjawab pertanyaannya.

“Em ... iya. Saya masih ingat. Tapi, sepertinya kita harus hidup seperti tak mengenal. Saya trauma, Aida setelah kejadian di masa lalu itu. Kamu nggak tahu rasanya ....”

Danish balik mencengkeram lengan Aida. “Ikut saya! Kita harus bicara!” Danish menarik tangan Aida dengan kasar berjalan entah kemana. Beberapa mahasiswi menatap memicing melihat Aida digandeng oleh ketua BEM. Dekat dengan Danish adalah sebuah keajaiban. Danish sangat sulit didekati dan beruntung sekali jika ada yang bisa mendekati Danish.

Danish membawa Aida menuju sebuah bangku panjang berwarna putih yang terletak di rerumputan hijau, di sekeliling ada bermacam-macam tanaman bunga yang asri dan beberapa pohon besar yang rindang. Danish mendudukkan Aida di kursi tersebut.

Danish melipat kedua tangannya di depan dada. Wajahnya datar, menatap Aida.

“Kenapa ke sini? Bukannya kamu di Australia?” tanyanya penasaran. Aida sudah menduga Danish akan menanyakan hal ini padanya.

“Aku suka tinggal di Indonesia,” jawab Aida jujur. Danish memutar bola matanya dengan malas.

“Kan, bisa kampus lain. Kenapa di tempat saya kuliah, hah?” tanyanya dengan emosi meluap.

Aida menghela napas. “Karena aku mau ketemu kamu lagi, Danish. Kita ini sahabat,” jawab Aida.

Danish menaikkan sebelah alisnya. “Sahabat kamu bilang? Sahabat yang menjerumuskan sahabatnya membunuh sahabat sendiri?” cibir Danish terdengar pedas. Aida menundukkan kepalanya. Ia tak berani menatap sorot manik abu yang tajam ke arahnya.

“A-aku ... khilaf. Kenapa kamu masih ungkit itu? Nadhira sudah membebaskan kita, dia baik-baik saja. Ini sudah tahun ketiga. Kenapa kamu mengungkitnya?” tanya Aida mengernyitkan dahinya.

“Masa lalu tidak akan bisa diubah. Kenyataannya kamu dan aku telah memiliki hati yang jahat! Itu semua karena kamu!” teriaknya dengan keras.

“Kamu tahu setelah bebas dari penjara apa saya bahagia, Aida?” Danish menggeleng. “Enggak sama sekali! Saya trauma! Setiap hari saya mimpi buruk tentang kejahatan saya! Saya benci ... saya benci perasaan saya sama Misha ... saya juga benci sama kamu!” ungkapnya dengan tubuh bergetar. Matanya terasa memanas.

Aida hanya terdiam mendengar ungkapan dari Danish. Ia sadar apa yang dahulu ia rencanakan dengan Danish itu sangat tidak benar. Tetapi, apakah ia tidak pantas memperbaiki hubungan kembali?

“Kamu masih mencintai Nadhira, Nish?” tanyanya dengan lirih.

Danish mengangguk lemah. “Iya. Saya hingga detik ini masih mencintai Misha. Nggak akan ada Misha yang lain karena Misha adalah Misha,” jawabnya.

Aida pikir setelah tiga tahun lamanya Danish sudah melupakan perasaan kepada Nadhira. Nyatanya tidak. Danish belum melupakan rasanya.

“Kenapa?”

Danish mengerutkan keningnya. “Kamu tanya kenapa? Kamu kira move on itu mudah? Coba saya tanya apakah kamu masih mencintai saya, Aida?” tanya Danish dengan nada kesal. Aida hanya terdiam tak ada niatan untuk menjawab.

Danish tersenyum miring, melihat Aida hanya terdiam. “Kamu diam saya anggap iya. Move on itu sulit, kan? Kamu belum bisa walau kamu sudah mencoba?” cecar Danish.

Aida menghela napas. “Aku sudah berusaha melupakanmu. Tetapi ... tidak bisa ....”

“Jauhi saya, Aida! Anggap kita nggak pernah kenal! Saya sedang berusaha melupakan Misha dan masa lalu kelam itu. Untuk itu, jangan munculkan wajahmu di depan saya! Saya benci sama kamu. Dengan kehadiran kamu, trauma saya kembali datang!” Danish bergegas meninggalkan taman. Ia sudah tak tahan berhadapan dengan Aida. Pemuda itu berlari menuju toilet dengan mengambil jalan sepinyang tidak pernah terlewat oleh mahasiswa atau mahasiswi agar mereka tidak melihat Danish berjalan sembari meneteskan air mata. Sesampai di toilet, ia membungkukkan badannya. Danish mencengkeram kuat kepalanya.

Arghh!”

“Kenapa kamu datang lagi?”

“Kenapa?”

“Nggak puas hancurkan hidup saya?”

“Saya benci kamu Aida! Saya benci kamu!”

Pemuda itu memerosotkan tubuhnya bersandar di pintu toilet, ia menenggelamkan wajahnya di lututnya. Ia memeluk lututnya dengan erat.

Sementara di taman belakang kampus, Aida meneteskan air mata dengan deras. Mendapatkan kebencian dari sahabat dan orang yang ia cintai itu sangat menyakitkan.

Kenapa kamu membenciku, Danish?





Akhirnya aku up lagi. Terima kasih yang masih nungguin cerita ini. See you next part. Happy Reading ☺️

Kapan Akan Terbuka ? [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang