PART 42

107 11 24
                                    


"Menjadi anugerah terindah ketika Tuhan memberikan kepercayaan kita untuk menjaga dan merawat malaikat kecil."

~ Aida Haifani ~

Tara langsung menggendong tubuh istrinya, kemudian berlari. Dani menghampiri Tara yang panik.

"Kenapa Aida, Nak?" tanya Dani begitu panik, melihat Aida tidak sadarkan diri.

"Aida pingsan, Pa habis muntah di kamar mandi. Aku mau bawa ke rumah sakit. Aku khawatir, Pa," lirih Tara.

Dani mengangguk. "Ayo. Papa ikut!" serunya.

Mereka bergegas masuk ke dalam mobil hitam. Dani melajukan mobil berwarna hitam dengan segera, menuju rumah sakit.

Sesampai di rumah sakit, Aida dibawa ke ruangan UGD. Mereka menunggu di depan. Tara dan Dani berharap semoga tidak terjadi sesuatu pada Aida.

"Aku takut, Pa," lirih Tara. Dani melengkungkan bibirnya, menatap Tara.

"Jangan panik. Aida pasti baik-baik saja," ujar Dani mencoba menenangkan Tara. Pria itu memeluk tubuh Tara.

"Iya, Pa. Aida akan baik-baik aja."

Sosok wanita berjilbab mengenakan jas berwarna putih keluar dari ruangan UGD. Tara dan Dani menghampiri wanita itu.

"Bagaimana, Dok, keadaan istri saya?" tanya Tara. Wanita itu melengkungkan bibirnya.

"Istri Anda baik-baik saja, Pak. Namun, selamat sebentar lagi Anda akan segera menjadi sosok Ayah," ujar wanita berjas putih itu, membuat Tara mengerutkan keningnya.

"Maksud Dokter?" tanya Tara tak mengerti dengan ucapan dokter itu. Sementara Dani masih tak percaya, mendengar itu.

"Istri Anda tengah mengandung. Usia kandungannya baru memasuki tiga Minggu," ujar wanita itu, membuat Tara membulatkan mata.

"Dokter serius? Istri saya hamil?" tanyanya memastikan. Wanita itu mengangguk.

"Iya, Pak."

Tara langsung sujud syukur di lantai rumah sakit. Pemuda itu meloloskan buliran bening.

"Ya Allah ... terima kasih," ujarnya begitu berbinar. Tara memeluk papa mertuanya dengan erat. Kedua pria itu sama-sama menangis.

"Akhirnya cucu gemoy Papa datang, Nak," ujar Dani masih sempatnya mengatakan gemoy.

Tara terkekeh, kemudian menyeka air matanya. "Iya, Pa. Sebentar lagi Papa akan punya cucu yang lucu."

"Bisa saya temui istri saya, Dok?" tanya Tara. Wanita itu mengangguk.

"Silakan temui istri Anda. Beliau sudah sadar," ujar dokter itu. Tara dan Dani bergegas memasuki ruangan UGD. Pria itu langsung menyentuh perut istrinya yang masih rata. Aida melengkungkan bibirnya.

"Aku nggak nyangka bentar lagi akan menjadi sosok ibu, Mas. Di usiaku dua puluh dua tahun akan memiliki anak. Aku senang sekali, Mas Tara."

Tara mengusap kepala Aida yang tertutup dengan jilbab begitu lembut. "Iya, Sayang. Mas juga senang. Kita akan punya anak."

"Kita akan jaga anak kita baik-baik, Sayang." Tara menatap perut Aida yang masih rata, kemudian melengkungkan bibirnya.

"Sayang, Papa menunggu kehadiran kamu." Tara mendaratkan bibirnya di perut Aida dengan lembut.


*****


Seorang gadis mengenakan gamis panjang dress berwarna biru muda dan jilbab senada. Polesan makeup alami merias wajah manisnya. Ia menatap diri dari pantulan cermin. Bibirnya melengkung dengan sempurna.

"Aku nggak nyangka Kak Danish akan melamar aku," gumamnya. Mata bulatnya begitu berbinar.

Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Gadis itu bergegas membuka pintu. Di hadapannya sosok wanita paruh baya mengenakan jilbab dan gamis berwarna merah gelap.

"Ayo, Sayang. Kita turun. Keluarga calon suamimu telah datang," ajak wanita itu. Ia merangkul pundak putrinya. Mereka berjalan, menuruni anak tangga menuju bawah.

Anindita merasakan jantungnya berdegup dengan kencang, saat melihat sosok pemuda berkacamata mengenakan jas berwarna biru navy duduk di kursi sofa berwarna putih. Bibir pemuda itu melengkung dengan lebar, terlihat manis dan menawan, membuat candu Anindita. Gadis itu beristighfar, kemudian menundukkan kepalanya supaya tidak terus menatap Danish, kakak tingkatnya di kampus.

Mereka berdua duduk di kursi sofa. Anindita masih menundukkan kepalanya sambil memilin ujung jilbabnya. Sementara pemuda berkacamata itu menatap Anindita yang menunduk, tersenyum lebar.

Kamu cantik, Anin. Nggak kalah sama Misha dan Aida.

Aku memang belum mencintaimu, tetapi aku akan berusaha mencintai dan menyayangimu sepenuh hatiku. Cinta setelah menikah lebih baik, bukan?

Kak Danish, kenapa jantungku berdebar terus. Pokoknya kalau kita udah nikah, aku akan minta tanggung jawabnya atas jantungku ini! Awas aja nanti!

Andai Danish mendengar kata batin Anindita, pasti pemuda itu tertawa, untung saja tidak bisa mendengar kata batin Anindita. Bisa-bisa Danish akan mengejek Anindita.

"Kita langsung mulai saja," ujar Reyhan. Tara dan Aida turut hadir di acara lamaran Danish dengan Anindita. Nadhira dan Abbas sudah pulang kembali ke Yogyakarta karena sudah mulai kuliah sejak dua bulan yang lalu.

"Bismillahirrahmanirrahim, kedatangan kami sekeluarga ingin meminta izin. Izinkan saya melamar Intan Anindita Kirana untuk putra kami, Danish Wahidan."

Pemuda berkacamata itu mencoba mengembuskan napasnya. Ia terlihat gugup. Ini pertama kalinya menggelar lamaran.

"Bismillahirrahmanirrahim, Intan Anindita Kirana, saya Danish Wahidan ingin melamar kamu untuk menjadi istri, permaisuri, makmum, belahan jiwa, dan ibu dari anak-anakku nanti. Apakah kamu kamu, Intan Anindita Kirana?" ujarnya, kemudian membuka sebuah kotak berwarna biru tersemat cincin berlian.

"Saya mengizinkan, tetapi keputusan ada di tangan Intan. Intan, bagaimana, Nak? Apakah kamu mau menikah dengan Nak Danish?" tanya wanita di samping Anindita.

Gadis itu mengembuskan napasnya, kemudian memejamkan mata. Ia mengangguk. "Saya Intan Anindita Kirana, dikenal Kak Danish Anindita, dipanggil ibu saya Intan, akan menerima lamaran dari Kak Danish Wahidan. Anin mau menjadi istri Kak Danish," jawab Anindita, membuat orang-orang yang berada di ruangan bertepuk tangan.

Ibu dari Anindita memasangkan cincin berlian pada jari manis Anindita. Gadis itu melengkungkan bibirnya. Ia bahagia ternyata dirinya dan kakak tingkat mantan presiden BEM itu sebentar lagi akan menikah. Ia tak percaya jodohnya adalah orang yang berpengaruh di kampusnya.

"Kalian mau menikah kapan?" tanya Kinara.

"Secepatnya, Ma. Danish ingin secepatnya menikahi Anindita," jawab pemuda itu.

"Anindita ikut kata Kak Danish saja," jawab Anindita.

"Alhamdulillah."

Akhirnya kamu menemukan pasanganmu, Danish. Aku senang. Mungkin memang sejak awal seharusnya aku tidak pernah mengejarmu, Danish. Aku yang terlalu berambisi sampai mencelakakan sahabat kita, Nadhira. Sungguh kebodohan bagiku, Danish.



Hai aku kembali update. Terima kasih masih mengikuti kisah ini. Jangan lupa tinggalkan bintang dan komentar. See you next part. Beberapa part lagi ending. Ikuti terus kisahnya. ☺️

Kapan Akan Terbuka ? [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang