PART 35

109 9 11
                                    


"Cinta boleh, tapi jangan menghilangkan kewarasan."

~ Abbas Khalil Afnan ~


Nasi goreng yang dibentuk hati, ditambahkan hiasan irisan tomat, lembaran daun selada, dan satu buah telur ceplok. Wanita itu melengkungkan bibirnya dengan sempurna, menatap sesuatu yang sudah dibuatnya.

Tiba-tiba terasa tubuhnya memberat, seperti ada yang menahannya. Ia menoleh ke belakang. Ternyata seorang pria tengah memeluk pinggang rampingnya dari belakang. Dagu pria itu ditopangkan di bahunya.

"Mas?"

"Jangan dilepas!" peringatnya dengan tegas. Aida mengerutkan keningnya.

"Kamu mau sarapan nggak?" tanya wanita berjilbab merah gelap.

"Jangan dulu! Aku mau peluk kamu!" jawabnya. Kedua netranya terpejam, ia menikmati wangi tubuh istrinya.

Aida mengusap surai legam Tara dengan lembut. Suaminya dalam mode manja.

Tiba-tiba seorang pria paruh baya datang dari tangga. Ia melengkungkan bibirnya, melihat anak dan menantunya tengah bermesraan. Dani jadi teringat ketika awal menikah dengan mendiang istrinya.

"Hani, putri kita sekarang sudah bahagia dengan suaminya," gumam pria itu.

Pria paruh baya itu menghampiri mereka yang tengah menikmati kemesraan. Ia berdeham.

"Ekhm ... ada yang lagi bucin, nih," ujarnya tiba-tiba, membuat Tara langsung melepaskan pelukan dari pinggang Aida. Kedua insan manusia itu membulatkan mata, melihat keberadaan Dani.

"Eh, Papa," ujar Tara, kemudian menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Kamu, sih, main peluk aja! Kan, Papa lihat!" gerutu Aida.

"Lanjutkan. Tidak papa. Papa nggak akan lihat." Dani menutup wajahnya seperti anak kecil. Tara tertawa.

"Ah, Papa kayak main petak umpet aja nih!" gerutu Tara.

"Udah. Kita sekarang sarapan. Aida udah bikin nasi goreng spesial untuk kita sarapan pagi ini," ujar Aida. Mereka duduk di meja makan.

Tara melengkungkan bibirnya, menatap nasi goreng berbentuk hati yang tertata cantik dan rapi. Ia mulai menyendokkan nasi ke dalam mulutnya. Netranya berbinar ketika menikmati nasi goreng itu.

"Enak!" serunya begitu antusias.

"Iya, dong, anak siapa dulu?" sahut Dani.

"Istri aku dong, Pa!" protes Tara. Dani terkekeh.

"Istri kamu anak saya juga. Kalau saya nggak kasih izin, dia nggak akan pernah jadi istri kamu!" sahut Dani mendebat perkataan Tara. Pria itu mengembuskan napasnya dengan kasar.

"Suka-suka Papa, deh! Yang penting Aida istri Tara!" sahutnya. Mereka kembali melanjutkan makan.

"Sayang ... lebih enaknya kalau kamu suapin aku. Suapin aku, dong, Sayang," pinta Tara terdengar begitu manja. Aida menghela napas. Sabar memiliki suami manja seperti anak kecil. Wanita itu mengangguk.

"Iya, Mas. Aida suapin." Aida mengambil piring Tara, kemudian mulai memasukkan nasi ke dalam mulut Tara. Pria itu berbinar, menerima suapan cinta dari sang istri.

"Enak banget, ya, minta disuapin. Dasar bayi gede!" cibir Dani. Tara menjulurkan lidahnya di depan Dani.

"Biarin! Yang penting aku disuapin sayangku!" sahut Tara, mengejek Dani. Pria itu geleng-geleng kepala. Menantunya itu begitu menggemaskan dan memiliki sisi kekanak-kanakan yang membuat diri mengelus dada.

"Sabar ... punya mantu nggak berakhlak banget ...," ujarnya sambil mengelus dada. Tara tertawa lepas.

"Papa, aku ini mantu Papa yang paling ganteng!" ujarnya begitu percaya diri. Aida terkekeh.

"Udah, ah, Mas. Makan lagi. Jangan debat mulu sama Papa," tutur Aida, membuat Tara mengangguk. Pria itu kembali menerima suapan dari Aida.

Setelah menyuapi Tara, Tara bergantian menyuapi nasi goreng pada Aida. Wanita itu menerima setiap suapan yang diberikan suaminya dengan penuh cinta. Dani hanya tersenyum.

Tara mengambil selembar tisu, kemudian membersihkan bibir Aida yang masih ada sisa makanan. Ibu jarinya mengusap bibir merah Aida dengan lembut, membuat Aida merasakan jantungnya berdegup dengan kencang. Ia menikmati perlakuan manis dari Antara Samudera, suaminya.

"Kan, cantik lagi!" seru Tara seperti anak kecil begitu antusias. Pria itu kembali melanjutkan menyuapi Aida.

"Dasar bocah," cibir Dani. Tara tidak peduli, ia lanjut menyuapi Aida sambil menatap wajah cantik istrinya yang membuatnya begitu candu.

*****

Seorang pemuda menatap kosong langit-langit kamar. Ia merenungi berbagai kesalahan yang sudah dilakukan selama ini. Buliran bening terus lolos, tiada henti. Tidak peduli jika nanti air matanya habis.

"Aku capek ...."

"Capek hidup seperti ini ...."

"Capek patah hati ...."

"Lelah ditinggalkan ...."

Tiba-tiba seorang pria dengan seorang wanita datang, memasuki kamar Danish. Mereka menatap sendu Danish yang menatap kosong.

"Danish ...," lirih Nadhira.

"Nish, ayo makan. Dari kemarin lo nggak makan. Istri gue udah masak. Lo tahu kan, masakan Malaika enak banget. Ayo, makan," ajak Abbas. Danish menggeleng.

"Nggak mau. Nggak nafsu makan," tolak Danish.

"Nish, tolong jangan kayak gini. Lo bisa sakit jiwa lagi!"

"Biarin aja kehilangan kewarasan. Kalau perlu nyawa gue hilang aja, Bas," lirih Danish, membuat Abbas mengepalkan kedua tangannya. Ia menatap tajam Danish.

"Jangan nyerah, Nish! Lo harus kuat!" ujar Abbas, berusaha memberikan semangat pada adiknya. Danish menggeleng lemah.

"Gue nggak kuat, Bas ... sakit banget ...."

"Danish, kamu nggak boleh seperti ini. Kamu harus kembali seperti biasa. Kamu itu kuat, Nish. Maafkan aku menjadi salah satu beban pikiran kamu," ujar Nadhira sembari menunduk.

Danish menggeleng lagi. "Bukan salah kamu, Dhira. Ini salahku. Aku adalah cowok egois dan bodoh. Inilah hukumanku, Nadhira," jawab Danish sangat pelan.

"Ayo, makan. Kasihan badan lo disiksa terus sama lo. Lo kehilangan cinta, tetapi jangan kehilangan kewarasan hidup," tutur Abbas.

"Gue ngantuk, Bas. Gue mau tidur. Tinggalkan gue," usir Danish begitu halus.

Nadhira menghela napas. Mungkin Danish masih butuh waktu sendiri.

"Mas, kita tinggalkan Danish dulu. Dia masih belum tenang. Kita tidak bisa membujuknya apa pun. Nanti kita kesini lagi," ujar Nadhira.

Abbas mengusap surai legam Danish. "Gue sama Nadhira ke bawah dulu. Kalau ada apa-apa kasih tahu aja. Jangan lama-lama kayak gini. Gue sakit, Nish, lihat Adek gue down kayak gini," lirih Abbas. Nadhira dan Abbas pergi meninggalkan kamar Danish.

Pemuda itu merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan botol kecil. Ia mengambil sebuah pil obat dari dalam botol tersebut, kemudian menelannya tanpa air.

"Gue mau tidur. Jangan ganggu gue," lirihnya, kemudian kedua netra abu-abunya terpejam dengan rapat setelah mengonsumsi obat itu.








Hai aku kembali update. Terima kasih masih mengikuti kisah ini. Jangan lupa tinggalkan bintang dan komentar. See you next part ☺️

Kapan Akan Terbuka ? [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang