Mahardhika tau, jika dirinya justru malah makin membuat orang lain repot. Niat hati segera pergi itu karena takut orang itu terbebani, tapi orang itu malah bersi kukuh untuk mengantarkan dirinya.
Bagaimana lagi, ia tentu tidak tau cara untuk menolak dengan jelas. Ia juga tidak pernah pandai membuat alasan, akhirnya ia hanya menurut dan ikut masuk kedalam mobil orang tak dikenalinya itu.
Adam terdiam dengan segala isi pikirannya, sebenarnya ia tengah sibuk memikirkan apa yang harus ia bahas untuk mengakhiri kecanggungan ini.
"Emm..jadi, rumah lo dimana?" Tanya Adam langsung ke intinya.
"Anter sampe tempat kemaren aja." Jawab Dhika.
"Ha?"
"Tempat lo bantu gua."
"Lo.. gak punya rumah?" Adam berucap ragu.
"Punya."
"Ooh.." ia menganggukkan kepalanya dan memilih mengakhiri obrolannya saja.
Selama diperjalanan ternyata anak itu terlelap dengan mulut sedikit terbuka disana.
Adam hampir saja tertawa, padahal tidak tau mau menertawakan apa. Mood Adam sulit ditebak.
"Weh, udah mau nyampe nih." Ucapnya yang otomatis langsung membuat Mahardhika tercekat bangun dengan wajah polosnya.
"Hah? Udah?" Ujar Mahardhika lugu dengan mengucek matanya.
"Gua bilang udah mau nyampe."
"Eungg.."
"Bocah.." Gumam Adam.
••••••
"Lo yakin mau gua anter sampe sini?" Adam ragu, bahkan ini masih pagi buta, apa iya ada orang yang mau berkeliaran sendiri di daerah sepi seperti ini.
"Iya.." Ucapnya
Seperti biasa, menurut Mahardhika 'terimakasih' juga 'maap' adalah kata yang paling sulit ia ucapkan. Walaupun sebenarnya ia selalu ingin berterimakasih kepada orang yang secara terang-terangan memberikan bantuannya.
Maka dengan wajahnya yang menunjukkan kebingungannya, Adam sudah bisa menebak sesuatu.
"Iya, baju nya gak usah di balikin. Nanti aja lo bales kalo ketemu lagi." Ucap Adam diiringi dengan senyum aneh miliknya.
Senyum Adam tulus dari hati yang paling dalam, namun entah mengapa raut wajahnya tidak menunjukkan demikian.
Satu kekurangan Adam, ia selalu terlihat cuek dingin dan juga berwajah seperti tidak peduli terhadap semua orang. Wajahnya selalu menampakkan sesuatu seolah-olah Adam memang tidak pernah bisa ramah.
Nyatanya Adam tidak seperti itu.
Nyatanya Adam juga tidak pernah mau dianggap seperti itu oleh semua orang. Adam adalah Adam, yang segala tindakannya selalu membuat orang kadang tercengang. Becanda.
Mahardhika mengangguk, kemudian ia menunggu Adam untuk kembali baru kemudian ia yang harus pulang.
Baru sampai di depan rumah, ia sudah di sambut dengan sosok sang ayah yang tengah menatap dirinya di depan pintu setelah beberapa menit ia mengetuk pintu.
Mahardhika menunduk dalam sambil diam-diam berusaha menenangkan gejolak dalam hatinya.
Tanpa sadar saking takutnya, tangannya kini bergetar.
"Bagus. Keluyuran."
"M-maaf Pa.."
"Kamu pikir dengan kamu jadi pecundang gini, bakalan bisa selesaikan masalah? Enggak Dika! Yang ada kamu malah nambah masalah!." Bara Bramantyo, Papanya yang kali ini Mahardhika rasa tengah benar-benar mengalami masa sulit karenanya.
Mahardhika kini diam, tak tau harus menjawab apa untuk menjelaskan apa sebenarnya yang telah ia alami.
"Pa, tadi sebenernya Dika.." Ucapannya menggantung saat sang ayah pergi begitu saja tanpa mendengar apa yang akan dijelaskan oleh dirinya.
Ia kemudian masuk, keadaannya tetap sama seperti sebelum ia tinggalkan tadi. Rumah berantakan, pecahan gelas dan guci bertebaran dimana-mana. Banyak barang yang tidak pada tempatnya dan ia tahu betul siapa pelakunya.
Tentunya itu adalah Ayahnya sendiri. Yang mempunyai emosi yang tidak terkendali.
Mahardhika terdiam ditengah ruangan, memerhatikan sang ayah mengetuk pintu kamarnya sendiri.
"Farra! Dika udah pulang. Cepat keluar."
Tak butuh waktu lama, sang ibu kini keluar.
"Dengar Dika.. Mama dan Papa kamu mau berpisah. Kamu mau ikut sama siapa?" Ucap sang ibu tanpa basa-basi.
Mengatakannya tanpa beban.
"Jawab Dik.. Mau sama Mama kamu atau Papa? Kalo saran Papa kamu ikut Papa. Mama kamu tidak bertanggungjawab. Bisa-bisa kamu nanti ditelantarkan."
"Mas Bara! Kamu jangan pancing emosi aku terus. Aku capek! Selalu saja menyudutkan aku."
"Ya memang begitu kenyataannya kan?"
"Halahh udahlah, cepat Dika! Mama mau segera pergi dari neraka ini. Kamu mau ikut Mama tidak?"
Sumpah demi apapun, Mahardhika tidak pernah diberatkan dengan dua pilihan seperti ini. Bagi Mahardhika, kedua pilihan sama-sama membuatnya terluka.
"Dika.."
"Dika enggak tau.." Ucapnya dengan suara yang bergetar.
"Kamu apa susahnya sih di suruh milih satu aja kok gak tau."
"Dika.." Napasnya tercekat, kemudian tubuhnya ambruk begitu saja disusul dengan tubuhnya yang mengejang.
Sang ayah dan juga ibunya syok dan refleks berlari ke arah Mahardhika, Anaknya.
"Dika? Kenapa hmm.. stt.. nak?" Ucap Bara sambil berusaha memeluk puteranya.
"Pa..Pa.. ngkh..Ma..af..Mama.. Dika..hhh.." Ucapnya dengan bersusah payah disertai dengan busa yang keluar dari mulutnya.
"Ma..af..be..lum hhhg..bisa.. ja..di a..pa..apa..ma..af..nyu..sahin.."
"Enggak nak.. maafin Papa ya? Jangan kaya gini.."
Mata anak itu tertutup namun mulutnya yang mengeluarkan busa seolah-olah tengah kesusahan meraup udara.
"Ambulance Mas!! Ambulance!!" Teriak Farra panik.
"Panggil!!" Teriak Bara sambil terus memegang tubuh kecil Mahardhika yang tetap bergerak tak karuan akibat kejang.
•TO BE CONTINUED•
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Mahardhika
Teen Fiction"Semesta Mahardhika itu cuma mama sama papa. Jadi jangan tinggalin Dika. Kalo mama sama papa pergi, Dika sama siapa?" •••••• Mahardhika rasa dunia sedang bercanda saat tiba-tiba Mama pergi begitu saja meninggalkan dirinya dengan Papa yang bahkan jug...