•Tiga Puluh Lima•

5.2K 589 45
                                    

Bara menatap Mahardhika yang tengah di tuntun masuk kedalam rumah.

"Dik, gua rasa mending tinggal sama gua aja, tinggal sama bunda juga." Ucap Adam berkali-kali.

Mahardhika juga mau, sangat mau. Tapi logikanya  rumah yang menjadi tempat pulang, satu-satunya saat ini hanyalah ayahnya. Walaupun sekarang Mahardhika tidak yakin apa itu masih bisa di sebut rumah atau tidak.

Dan bagaimanapun Mahardhika merasa sudah cukup sering membebani Anggiana dan juga Adam karena mengurusnya.

Bagaimana tidak menyusahkan? Setiap Mahardhika disisi mereka, pasti pekerjaan mereka bertambah banyak karena harus menemani dirinya sekalipun ia tidak meminta.

Memang hangat rasanya diperhatikan, akan tetapi Mahardhika merasa menjadi orang yang egois karena menyusahkan semua orang.

Mahardika tidak mau melihat wajah lelah Anggiana yang tetap berusaha untuk menemani dirinya, padahal seharusnya yang ia lakukan adalah istirahat.

Mahardhika selalu merasa bersalah pada orang yang selalu ada bersamanya, karena Mahardhika tau ia hanya bisa menerima. Tidak ada yang bisa Mahardhika berikan sebagai balasan atas kebaikan yang mereka lakukan padanya.

"Nanti gua langsung minta jemput kalo papa beneran gak nerima gua lagi."

"Dik.."

"Mau gimanapun sekarang keluarga gua tinggal papa. Walaupun papa juga udah punya keluarga baru.. seenggaknya gua masih bisa tinggal sama orang tua gua bang."

"Oke. Kalo ada apa-apa langsung telpon gua, oke?" Jawab Adam agar Mahardhika tidak semakin membahas hal tersebut.

"Hm, pasti."

•••

Sejujurnya jauh dari lubuk hati Bara sebagai seorang ayah, Bara tentu mengkhawatirkan anaknya yang sudah berhari-hari tidak pulang.

Sedangkan dirinya yang masih bersama ego yang tinggi enggan menghampiri Mahardhika meskipun ia sudah tau keberadaan anak itu.

Bara hanya ingin membiarkan Mahardhika pulang sendiri tanpa harus ia paksa lagi.

Bara membuang mukanya saat bertatapan dengan Mahardhika.

"Dika pulang, maafin Dika baru bisa pulang. Walaupun Dika gak tau papa masih mau nampung Dika atau enggak."

Bara tidak menjawab, kemudian ia masuk kedalam rumah. Mengabaikan Mahardhika yang masih diam ditempatnya.

"Cepetan masuk." Itu suara Bara dari kejauhan mengajak Mahardhika masuk ke dalam juga.

Mahardhika menghembuskan napasnya lega, karena sejujurnya ia takut sekali jika harus berhadapan dengan sang ayah.

Bahkan tangannya kini masih gemetaran.

Ia memasuki kamarnya, disana terlihat rapi dan bersih.

Mungkin Bara telah menyuruh seseorang untuk membereskan kamarnya.

Lalu ia merebahkan dirinya, menatap langit-langit kamarnya dengan tenang.

Ia jadi berpikir kenapa hidupnya menjadi seperti ini. Jika bisa ia ingin menjadi tidak peduli saja agar tidak tersakiti seperti ini.

Ia tidak pernah siap ditinggalkan oleh siapapun.

Mengingat lagi telpon bersama sang ibu waktu itu.

Entah mengapa suara sang ibu kini ikut menyakiti perasaannya.

Ia takut, takut semua orang semakin lupa padanya.

Walaupun Mahardhika sadar, di usia ini ia tidak pantas mengeluhkan hal tersebut.

Semesta Mahardhika Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang