Mahardhika menyandarkan tubuhnya dibalik sebuah dinding bersama Azka. Bermaksud untuk bersembunyi karena tidak kuat untuk berlari lagi.
Mahardhika mengusap hidungnya yang tadi mengeluarkan darah disana.
Lalu ia mengusap dadanya yang terasa sangat sakit sekarang. Dan entah bagaimana ia tiba-tiba merasa kesulitan bernapas.
Ia mengatur napasnya pelan-pelan sambil memejamkan matanya.
Ia melirik Azka yang menundukkan kepala di sebelahnya. Di wajahnya terdapat beberapa luka memar yang Mahardhika yakini sebagai bekas pukulan ayah kandung Azka tadi.
Ataupun bisa saja sudah terjadi sejak lama.Ia mengusap bahu anak itu pelan.
"Gak apa-apa Az.. lo keren banget bisa bertahan sampe sekarang."
Azka tidak menjawab, tidak berani juga untuk menatap wajah Mahardhika yang ada di sebelahnya.
Ia hanya mampu menundukkan kepalanya sambil berusaha menahan tangis disana.
"Kalo mau nangis, nangis aja. Gua tau rasanya nahan nangis tuh gak enak banget. Gua gak akan ledekin." Ucap Mahardhika pelan sambil menahan batuk.
Tanpa Mahardhika duga, Azka menutup wajahnya dengan kedua tangannya disana. Dan mulai terdengar isakan kecil sebagai tanda bahwa Azka tengah menangis di depan Mahardhika.
Siapa sangka, sosok keras kepala serta menyebalkan itu ternyata tidak sekuat kelihatannya.
Mahardhika menyandarkan kepalanya lagi sambil mengusap pelan punggung kecil milik Azka.
Namun beberapa saat kemudian Mahardhika tidak lagi bisa menahan batuknya, walaupun terasa sangat menyakitkan Mahardhika tetap mengeluarkan batuknya beberapa kali.
Ia menutup mulutnya berharap bisa meredam suara miliknya.
Ia meludahkan sesuatu yang ia anggap sebagai dahak, namun ia tertegun saat melihat darah disana. Ditambah dengan sesak yang terasa semakin menyakitkan kala Mahardhika mencoba menghirup udara di sekitarnya.
"Az.." Ucapnya pelan sambil masih mengusap punggung Azka.
"Gua gak pernah tau apa yang lo alamin selama ini, yang pasti berat banget ya?"
Ia menarik napasnya dalam-dalam sambil meringis kesakitan.
"Gua juga sering ngerasa gak ada yang peduliin." Lanjut Mahardhika pelan dengan memejamkan matanya.
"Dari awal gua ngerasa gak punya siapa-siapa.. ngerasa kalo gua enggak berguna makanya orang-orang gak mau peduliin gua."
Azka terdiam di posisinya, masih belum berani menatap Mahardhika. Ia masih menutup wajahnya walaupun tangisnya sudah reda.
"Rasanya gak enak banget.. gua harap hidup lo bisa jauh lebih baik dari pada gua.."
Setelah itu hening, usapan di punggungnya pun sudah berhenti.
Azka menoleh pelan karena Mahardika tidak melanjutkan kalimatnya lagi.
Azka melihat Mahardhika memejamkan matanya, tidak bergerak sama sekali.
Azka mengguncang pelan bahu Mahardhika.
"Lo.. tidur kan?" Ucap Azka dengan suara yang bergetar.
Azka mengusap air matanya yang tiba-tiba turun sambil mengguncang lagi tubuh Mahardhika yang belum merespon apa-apa.
"Dika jangan becanda! Gua takut.."
Azka panik ketika tidak mendapatkan jawaban apa-apa dari Mahardhika.
Azka melihat darah di sebelah Mahardhika. Ia juga melihat bekas darah di bibir Mahardhika.
Ia menyentuh tangan Mahardhika dengan tangannya yang bergetar.
Dingin. Itu yang Azka rasa saat menyentuh tangan Mahardhika.
Kemudian tanpa basa-basi ia menggendong Mahardhika di punggungnya.
Ia berusaha berjalan secepat mungkin walaupun sesekali berhenti karena kaki miliknya yang terasa sakit karena sudah tidak kuat lagi menggendong Mahardhika.
Ia juga sesekali melihat sekitar, berharap tidak bertemu sang ayah secara tiba-tiba.
Ada sedikit rasa lega saat dirinya melihat sebuah taksi menuju ke arahnya yang sedang kewalahan bersama Mahardhika.
Ia melambaikan tangannya dengan cepat, takut-takut bila taksi tersebut akan melewati dirinya.
Sang supir taksi yang mengerti keadaan langsung menghentikan taksinya dan turun membantu Azka memindahkan Mahardhika.
•••
Azka kini tengah terdiam di depan UGD.
Lalu ia pergi menuju toilet meski sesekali akan terjatuh karena kakinya yang kini baru terasa tidak bertenaga.
Ia membasuh wajahnya berkali-kali saat air matanya tidak kunjung berhenti mengalir.
Azka tidak tau penyebab pastinya, yang Azka rasa adalah sesak sampai-sampai ia tidak bisa menahan air matanya.
Azka bersyukur toilet tidak seramai yang ada dipikirannya. Karena ini adalah toilet rumah sakit.
Ia kini dihantui oleh rasa takutnya, ia mulai memikirkan banyak hal buruk yang kemungkinan akan terjadi.
Azka takut terjadi sesuatu kepada Mahardhika yang jelas-jelas Azka lah penyebabnya.
Ia menutup matanya rapat sambil mengangkat lengan bajunya ke atas. Kemudian ia mencubit lengannya sekencang mungkin dengan napas yang tidak beraturan.
Di lengan kirinya sudah terdapat beberapa memar bekas cubitannya sendiri.
Azka tidak tau apa yang sedang ia lakukan selama ini, tapi ia rasa kebiasaan buruk ini terjadi saat ia mulai meredam emosinya agar tidak keluar begitu saja.
Tubuhnya menegang saat seseorang menepuk pundaknya tiba-tiba.
Lantas ia langsung menurunkan kembali lengan bajunya.
"Azka ya?" Ucap seseorang yang tadi menepuk pundaknya.
Lalu Azka menoleh, itu Adam. Azka tau.
Azka hanya mengangguk.
"Makasih udah bantu bawa Dika kesini."
Adam mengelap tangannya yang sudah ia cuci barusan. Lalu ia menuntun Azka untuk ikut bersamanya.
"Gua gak sengaja liat." Ucap Adam.
Azka menoleh bingung.
"Tangan lo."
Azka terdiam, memalingkan wajahnya.
"Gua gak akan bilang siapa-siapa kok. Tapi boleh gak gua ngomong sesuatu?"
"Jangan ikut nyakitin diri lo sendiri. Udah cukup orang lain yang nyakitin. Masa diri sendiri ikut nyakitin juga? Gak kasian sama diri sendiri?"
Adam berucap pelan sambil menatap Azka yang terdiam.
"Jangan sampe gua liat Mahardhika ke dua."
"Sekarang dia lagi kritis, gua heran kenapa orang seumur dia hidupnya kaya gini banget."
Azka menundukkan kepalanya sambil memegang ujung bajunya.
"Dia kaya gitu gara-gara gua.." Ucap Azka pelan.
Adam menoleh, lalu ia mengusap bahu Azka pelan.
"Apapun yang terjadi, Gak semua yang udah terjadi itu harus lo yang tanggung. Karena kenyataannya bukan kaya gitu cara semesta bekerja. Semua yang terjadi di dunia ini gak akan selalu sesuai rencana dan gak akan terduga. Jadi stop salahin diri sendiri."
•TO BE CONTINUED•
•••
A/n: WATASHI NGANTUK SEKALI MENNNN
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Mahardhika
Ficção Adolescente"Semesta Mahardhika itu cuma mama sama papa. Jadi jangan tinggalin Dika. Kalo mama sama papa pergi, Dika sama siapa?" •••••• Mahardhika rasa dunia sedang bercanda saat tiba-tiba Mama pergi begitu saja meninggalkan dirinya dengan Papa yang bahkan jug...